Sasar Pesantren, NTB Sosialisasikan Perda Pencegahan Perkawinan Anak

Arif Setiawan | Jum'at, 01/08/2025 13:01 WIB
Sasar Pesantren, NTB Sosialisasikan Perda Pencegahan Perkawinan Anak Kejati dan Pemprov NTB sosialisasi Perda Pencegahan Perkawinan Anak di Lombok Barat. (Foto: kejatintb)

RADARBANGSA.COM - Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB bersama Pemerintah Provinsi NTB menggelar sosialisasi perda terkait pencegahan perkawinan anak dan penyelenggaraan pesantren kepada pengurus pondok pesantren di Lombok Barat.

Kepala Biro Hukum Setda NTB, Lalu Rudy Gunawan, menyebut kegiatan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah memperkuat pemahaman hukum di lingkungan pesantren. 

“Ada dua perda yang kami sosialisasikan, berkaitan dengan pencegahan perkawinan anak dan penyelenggaraan pesantren,” ujarnya, sebagaimana dikutip redaksi, Jumat (1/08/25).

Kasi I Intelijen Kejati NTB, Supardin, menegaskan peran strategis pesantren dalam pendidikan Islam sekaligus tantangan yang dihadapi di era modern. 

“Pondok pesantren merupakan pilar pendidikan Islam di Indonesia. Tentu ada tantangan dan peluang di era modern saat ini, sehingga penting untuk bersinergi antara nilai tradisional dan hukum kontemporer,” katanya.

Supardin juga menyoroti pentingnya tata kelola pesantren yang profesional dan akuntabel. Menurutnya, kunci pesantren modern terletak pada digitalisasi, transformasi sistem, serta transparansi pengelolaan keuangan. 

“Pesantren harus mampu memanfaatkan teknologi informasi untuk administrasi dan pembelajaran, sekaligus memastikan setiap penggunaan dana dapat dipertanggungjawabkan,” imbuhnya.

Selain itu, Kejaksaan berperan dalam upaya preventif melalui edukasi bahaya narkoba, pencegahan kekerasan seksual, radikalisme, hingga perlindungan data pribadi. 

“Termasuk juga pencegahan perkawinan anak. Pondok pesantren harus terus menyosialisasikan bahaya menikah di usia anak,” tegas Supardin.

Kasi III Intelijen Kejati NTB, Edi Tanto Putra, menambahkan pencegahan perkawinan anak merupakan bagian dari perlindungan terhadap masa depan generasi bangsa. 

“Setidaknya ada empat prinsip perlindungan anak, yakni kepentingan terbaik untuk anak, non-diskriminasi, hak untuk hidup dan berkembang, serta penghargaan terhadap anak,” jelasnya.

Edi juga mengingatkan bahwa perkawinan dini berisiko menghambat pendidikan anak hingga berdampak pada kesehatan mereka. 

“Artinya, anak bisa kehilangan kesempatan melanjutkan pendidikan, bahkan berisiko kesehatan juga,” ucapnya.

Sementara itu, Muhammad Erwin dari Biro Hukum Setda NTB memaparkan faktor penyebab perkawinan anak di antaranya budaya sosial, kondisi ekonomi, dan belum tertibnya administrasi kependudukan.