Bagaimana Taiwan Mampu Mengatasi Pandemi Korona?

M. Isa | Senin, 20/04/2020 15:57 WIB
Bagaimana Taiwan Mampu Mengatasi Pandemi Korona? Muhammad Iksan.

 

RADARBANGSA.COM - Sampai Minggu (19/April/2020), kasus positif korona (Covid-19) di Taiwan mencapai 420 kasus, dengan angka kematian sebanyak 6 orang, dan 189 orang telah dinyatakan sembuh. Sementara itu, dari dalam negeri kita memperoleh berita terkini terdapat 6.575 kasus positif Covid-19, dengan 582 orang telah meninggal dunia, dan 686 dinyatakan sembuh.

Angka kasus Covid-19 Indonesia tergolong tertinggi di kawasan Asia Tenggara, walaupun masih tergolong sedikit ketimbang Negara seperti Amerika Serikat, Spanyol, Inggris, ataupun Italia. China sebagai pusat pandemic korona pertama kali ditemukan sudah berangsur-angsur membuka kota-kotanya, walaupun banyak yang meragukan klaim pemerintah otoriter komunis China dalam penyampaian data sebenarnya.

Lalu bagaimana Negara yang berada di bawah bayang-bayang Republik Rakyat Cina (RRC) dalam soal kebjakan politi di mana Beijing memaksa banyak Negara untuk hanya mengakui satu China, bukan Taiwan tetapi RRT, mampu sampai saat ini melewati pandemi Covid dengan meyakinkan?

Untuk diketahui, jarak Taiwan hanya 81 mil dari pantai daratan besar (mainland) China dengan jumlah penduduk sekitar 23 juta orang dengan 404,000 orang bekerja di mainland China. Dan pada tahun 2019 sebanyak 2,7 juta wisatawan China datang ke Taiwan, karena mereka memang berasal satu budaya dan satu bahasa yang tidak berbeda.

Saya merasakan sendiri bagaimana sigapnya pemerintah Taiwan dan penduduk kota Tainan, tempat saya menimba ilmu saat ini.

 

SARS 2003

Berbeda nasib dari Indonesia, yang justru membuat lelucon Sindrom Amat Rindu Soeharto (SARS) tujuh belas tahun lalu, pemerintah Taiwan sangat kerepotan menangani Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) di tahun 2003 itu. Mereka sangat terpukul dari sisi ekonomi juga sektor kesehatan, hingga kerepotan memberikan masker untuk warganya, karena penyakit sindrom pernafasan akut itu telah datang tanpa diundang.

Namun mereka belajar dari SARS 2003 sebagaimana juga pemerintah Negara-kota tetangga kita Singapura, mulai melakukan pembenahan dan persiapan. SARS 2003 juga berawal dari mainland China yaitu kota Guangdong. Covid-19 berasal dari kota Wuhan provinsi Hubei – China.

Saya kira perlu diterangkan pula di sini, dampak kebijakan satu China (One China Policy) ialah pemerintah RRC telah menghalangi Negara-pulau yang bernama Formosa ini, untuk bergabung dengan organisasi global seperti World Health Organization (WHO), ya Taiwan bukan anggota WHO.

Menurut saya, dua pra-kondisi itulah di mana Taiwan pernah mengalami endemi SARS 2003 atau tujuh belas tahun lalu, serta Taiwan bukan anggota WHO yang membuat mereka harus berbenah dan berdiri dengan kekuatan sendiri, mana kala wabah penyakit dari luar dan dari dalam datang menghadang.

 

Data Besar dan Komunikasi Publik

Lalu pelajaran apa yang bisa diambil dari penanganan Covid-19 Taiwan bagi pemerintah dan publik Indonesia. Tidak ada satupun Negara yang siap dengan pandemic seperti Covid-19. Namun dari jumlah korban positif, korban yang sembuh maupun meninggal kita bias menilai sejauhmana kesiapan dan penanganan bencana ini.

Jason Wang dkk (2020) dalam risalahnya Response to Covid-19 in Taiwan: Big Data Analytics, New Technology and Proactive Testing menyebutkan data besar atau big data berperan penting dalam melakukan identifikasi kasus, penanganan, dan juga alokasi sumber daya sehingga lebih efektif dalam menangani covid.

Sederhananya bagaimana data besar dalam pelaksanaanya? Saya menyaksikan dan merasakan sendiri sampai artikel ini ditulis, setiap masuk-keluar gedung kuliah dan asrama selalu diperiksa temperatur tubuh.

Di kelas, administrasi kampus juga selalu mencatat tempat kami duduk memang tidak ada pembatasan sosial berskala besar di sini. Namun pihak otoritas kampus mempunyai dokumentasi kongkret, di mana saya duduk bersebelahan dengan siapa. Kesemua itu dicatat dan recorded secara baik dan digunakan semestinya oleh otoritas.

Dari jauh-jauh hari, pemerintah Taiwan menutup semua penerbangan dari dan ke mainland China. Rekan-rekan mahasiswa yang berasal dari China, Makau, Hongkong diawal perkuliahan diwajibkan karantina 14 hari, termasuk mereka yang singgah di Singapura diawal perkuliahan.

Komunikasi publik juga terus gencar dilakukan oleh otoritas Kesehatan Taiwan dalam hal ini ditangani oleh Taiwan Center for Disease Control, anda bisa mengunjungi laman CDC Taiwan untuk meng-update semua hal terkait Covid secara transparan dan terbuka.

Selain data besar dan komunikasi publik, pemerintah Taiwan memberlakukan pula tes Covid berskala massif dan proaktif, hanya cukup empat jam hasil tes positif atau negative sudah dapat diketahui.

Kita melihat dan mendengar masih sedikit warga Indonesia yang dites, membuat pembatasan sosial berskala besar menjadi tidak efektif. Apalagi terkadang kebijakan pemerintah daerah bertabrakan seperti kebijakan transportasi publik misalnya pembatasan Keretaapi Rel Listrik Jabodetabek tidak berjalan, yang digawangi pemerintah pusat.

Pada hemat saya, bulan April sampai akhir Mei 2020 adalah waktu paling krusial bagi penanganan Covid-19 di tanah air. Dalam hitungan hari, kita akan memasuki bulan puasa Ramadhan di mana ekonnomi harus bergerak dan mobilitas warga melalui Mudik Idul Fithri. menjadi momentum krusial, apakah angka korban Covid-19 bisa ditekan sehingga kurva bisa melandai.

Perlu ketegasan dari Pemerintah Pusat utamnya dalam soal mudik, telah cukup kita hadapi kebijakan yang too little, too late, dan inconsistent. Di samping itu, perlu kerjasama semua pihak yang berkepentingan guna menghadapi bulan Puasa dan Idul Fithri tahun ini. Seperti juga pemerintah dan warga Taiwan tetap waspada, badai akan berlalu namun selalu ada gelap sebelum terang.

--

Ditulis oleh Muhamad Iksan (Peneliti pada lembaga riset Paramadina Public Policy Institute di bawah Universitas Paramadina – Jakarta. Saat ini sedang bersekolah di National Cheng-Kung University (NCKU)-Tainan, Taiwan)

 


Berita Terkait :