Karhutla dan Polusi Udara yang Kian Perparah Penularan Covid-19

Anata Lu’luul Jannah | Kamis, 10/09/2020 19:33 WIB
Karhutla dan Polusi Udara yang Kian Perparah Penularan Covid-19 Ilustrasi kebakaran hutan

JAKARTA, RADARBANGSA.COM – Sejumlah peneliti global menetapkan jika polusi udara berpotensi meningkatkan laju infeksi sebagaian virus pada umumnya. Tak terkecuali juga, mereka menetapkan sebuah spekulasi jika polusi udara dapat memperparah laju penyebaran covid -19.

Greeenpeace melalui laporannya mengungkap penelitian yang dilakukan pada awal tahun di Tiongkok. Penelitian itu mengatakan polusi udara dapat meningkatkan risiko terjangkit infeksi Covid-19 dan memperburuk keparahan infeksi penyakit ini bagi mereka yang sudah positif terjangkit Covid-19.

“Polusi udara meningkatkan kerentanan terhadap infeksi saluran pernapasan. Terjadinya kabut polusi udara yang parah di Tiongkok telah dikaitkan dengan peningkatan penularan virus pernapasan syncytial influenza dan penyakit serupa influenza,” demikian laporan artikel tersebut.

Para peneliti di Italia berspekulasi bahwa SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, dapat menempel pada materi partikulat, membantunya bertahan lebih lama di udara luar yang berpolusi tinggi. Pada tingkat ini, peneliti mengasumsikan jika tingkat polusi udara industri yang tinggi di Italia Utara mungkin disalahkan sebagai `faktor pendamping tambahan` atas tingginya tingkat kematian Covid-19 di sana.

Greenpeace kemudian mengaitkan jika polusi udara ini juga terjadi di beberapa kota di Indonesia yang memiliki tingkat polusi udara yang tinggi. Pihaknya juga menyimpulkan jika Karhutla dan Kerusakan lahan gambut menjadi penyumbang utama polusi udara.

“Banyak orang yang memiliki masalah kesehatan yang sama disebabkan atau diperburuk oleh kebakaran hutan – termasuk polusi dari karhutla yang berulang kali terjadi di Indonesia,” ungkap mereka.

Greenpeace menerangkan jika selama hampir empat puluh tahun, sejak ‘Kebakaran Besar Kalimantan’ di tahun 1982-83, telah menimbulkan kerugian yang besar yang sebenarnya dapat dicegah oleh masyarakat setempat dan negara-negara tetangga.

Kebakaran ini berimbas pada puluhan juta nyawa manusia yang kini telah terpapar polusi udara dan yang telah kehilangan nyawanya.

“Kebakaran yang berulang kali terjadi di lahan gambut yang dikelola oleh perusahaan yang sama merupakan bukti bahwa baik industri maupun pemerintah tidak bertindak cukup untuk menghentikannya,” tambahnya.

Mereka menyimpulkan, jika hutan dan lahan gambut terus terbakar tanpa peningkatan komitmen nol deforestasi dari industri dan pemerintah, maka asap kebakaran hutan diprediksi akan menyebabkan kematian dini tahunan sebesar 36.000 di seluruh Indonesia dan negara tetangga Singapura dan Malaysia.

Greenpeace kemudian mengajukan solusi agar pemerintah melakukan peningkatan komitmen serta bersikap tegas pada dunia industri yang terus berniat untuk menggunduli dan membakar hutan.

“Pejabat pemerintah harus membantu aparat pengadilan untuk memastikan upaya peradilan dijalankan; efek jera dalam bentuk finansial hanya akan berhasil jika perusahaan diwajibkan membayar denda dan kompensasi,” ungkapnya.

Selain itu mereka menilai Pemerintah perlu menerapkan sanksi administratif yang kuat dengan membatalkan izin perusahaan-perusahaan yang gagal mencegah kebakaran-kebakaran yang serius.

Bagi perusahaan yang bertanggung jawab dalam hal ini maka mereka harus memastikan tidak akan  membuka lahan gambut atau menggunduli hutan untuk membuka perkebunan.

“Mereka harus melakukan ini dengan mengadopsi Pendekatan Stok Karbon Tinggi dan berkomitmen terhadap NDPE (Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut, Tanpa Eksploitasi),” tukasnya.


Berita Terkait :