Refleksi 27 Tahun PKB: Tiga Titik Ungkit Bersama

Redaksi | Kamis, 24/07/2025 14:03 WIB
Refleksi 27 Tahun PKB: Tiga Titik Ungkit Bersama Lepi Ali Firmansyah (Ketua DPC PKB Cianjur). (Foto: Akun X @Firmansyahlepi)

*Oleh: Lepi Ali Firmansyah

RADARBANGSA.COM - Dalam 27 tahun usia PKB pada 23 Juli ini, sesungguhnya terbentang tidak hanya usia pengabdian yang panjang. Lebih dari itu, terhampar juga sejumlah bahan muhasabah dan ibroh yang memerlukan daya kontemplasi, khususnya bagi kader partai sembilan bintang dan umumnya seluruh ummat. 

Kepentingan nasional yang terepresentasikan pada entitas ummat bukanlah klaim politik praktis. Tapi ini adalah keniscayaan, manakala basis partai yakni kurang lebih 90 juta jiwa nahdiliyin serta mayoritas berasal dari kaum papa, adalah perwakilan wajah bangsa yang jadi keseharian kami. 

Setidak-tidaknya terdapat empat poin muhasabah tersebut. Hal utamanya diawali dengan tantangan politik mutakhir yakni pragmatisme yang kian mengental bahkan mengeras di semua elemen. Tak hanya bagi mereka yang berpartai, namun juga hingga tataran masyarakat akar rumput. 

Praksisme politik mutakhir menuntut kreasi visi dan misi sejak akan berdiri pun tidak bisa berdiri sepenuhnya otonom, namun sudah harus adaptif dengan yang kita sebut saja, “tuntutan pasar”. Jadi, apa yang menjadi ekspektasi, atau tepatnya selera masyarakat, sudah harus diperhitungkan. 

Selera ini kemudian dipertajam konstalasi dan kontentasi politik yang terus menebal. Eksistensi partai-partai berakar kultural sejelas dan kuat seperti nahlidiyin, misalnya kaum marhaenisme, modern, ke-karya-an, pergerakan Islam, dst, menajamkan persaingan ekspektasi tadi. 

Dan, ketika aktivis partai kemudian merintis, mengupayakan, serta membangun bangunan politiknya dalam tantangan dan keterbatasan, maka di saat bersamaan, selera “pasar” tadi sudah harus dipenuhi pada kesempatan pertama serta pada tempo sesingkat-singkatnya.

Pemenuhan selera ini sayangnya mayoritas tidak lagi berkutat di tataran ideologis. Harus diakui, akar kultural pun sudah terjebak aspirasi pragamatis bersifat duniawi; Suara dan aspirasi adalah aset yang bisa, bahkan harus, dipertukarkan kebutuhan keseharian. 

Inilah yang kemudian melahirkan premis Rubaidi (2021), bahwa partai Islam di seperti PKB tak hanya dituntut berlaku professional. Akan tetapi juga mau bergerak fleksibel dalam rangka meraih tujuan-tujuan politiknya agar tetap kompetitif dalam arus demokrasi elektoral.

Otomatis, ideologi sebagai pedoman utama pergerakan menghadapi tantangan zaman yang terus dinamis. Jika tak benar-benar dikelola, posisi ideologis partai dalam semua kebijakan dan kaderisasi bahkan bisa memudar tak lagi jadi pembeda partai Islam dan sekuler (Maha Putra, 2024).

Maka, poin awal muhasabah ini menuntut PKB terus memperjuangkan sikapnya selama 27 tahun ini yakni transformasi nilai political Islam ke democratic Islam. Kami menghujamkan ajaran nahdliyin kami namun juga terus ikut merawat komitmen demokrasi seperti kebebasan sipil serta inklusi sosial.

Apa yang diriset oleh Hajar (2017) dan Yilmaz & Shukri (2024), menyebutkan partai Islam seperti AKP di Turki dan Ennahda di Tunisia, terus mampu mempertahankan nilai inti agama mereka dengan juga memegang terus nilai-nilai demokrasi universal semisal terlibat pemerintahan koalisi, supremasi sipil, dan kebebasan berpendapat. 

Muhasabah kedua adalah tantangan kombinasi menurunnya kepercayaan kepada partai politik di era pasca kasunyataan (post truth). Kita bersama sudah mengetahui dari banyak survey terpercaya bahwa degradasi kepercayaan kepada parpol terus terjadi. 

Berbagai tindak OTT (Operasi Tangkap Tangan) kasus korupsi yang melibatkan orang parpol, menjadi salah satu penyebab menurunya keprcayaan public terhadap parpol. Bersyukur kader PKB relatif minim terjerat dibandingkan kader partai lainnya. Di sini ada gerak nyata bimbingan kearifan dan keteladanaan para kyai yang sejak lama bergaya hidup sederhana. 

Di sisi lain, “pandemi” pasca kasunyataan dengan di dalamnya pekat misinformasi, disinformasi, malinformasi, dan paling bahaya tentu saja hoax, harus diakui turut memperburuk narasi publik akan partai politik beserta elemen di dalamnya. Padahal—sekalipun ada kekurangan—sebenarnya tak seburuk itu. 

Hal ini terjadi karena hujaman post truth terhadap parpol sudah bukan lagi masuk ruang publik/public sphere (Habermas, 1992). Lebih jauh dari itu, modifikasi eksponensial terjadi karena kian masuk ruang publik digital/digital public sphere sebagaimana dicuatkan Mike S. Schafer (2015). 

Sontak, ruang maya memungkinkan informasi “berkembang biak” dengan cepat dan murah ke seluruh ruang sempit di pedesaan sekalipun. Akan tetapi, di sisi lain, perluasannya disertai dengan derajat informasi yang liar, banal, permukaan, dan khususnya sarat ujaran kebencian. 

Maka, solusi tunggal pada ini semua, di mata penulis hanyalah: literasi digital. Parpol bekerjasama dengan pemerintahan, media massa, industri, dan kampus melalui konsep pentahelix, harus mau berkeringat dalam memajukan tingkat literasi Indonesia yang tergolong rendah se-dunia ini. 

Ummat khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya harus distimulan agar beranjak dari pengakses pasif informasi menuju pembaca tekun yang menjalankan seluruh sel aktif nalar dan kritisme miliknya. Publik didorong menjadi penyaring internal pada informasi yang menghampirinya, sehingga kejernihan membaca lingkungan (termasuk parpol) bisa lebih baik lagi. 

Terakhir, muhasabah 27 tahun PKB yang patut dilakukan adalah bagaimana aktivis partai bisa terus selaras dengan perubahan petanda zaman (landmark) yang saat ini sedang nyaring terlihat dari merasuknya Akal Imitasi (AI) di seluruh sendi kehidupan. 

AI tak bisa dilawan dan tak bisa disingkirkan se-khawatir apapun kita pada humanisme. Kondisi terakhir di mata penulis dari landmark ini adalah manusia unggul yang anti AI justru akan dikalahkan manusia bodoh yang terlatih menggunakan artificial intelligence tersebut.  

Karena itu, parpol harus bisa memperoleh sebanyaknya hanya manfaat AI, bukan malah ditipu oleh pesona AI yang serba cepat namun belum pasti benar. Simultan, kita pun tetap menjaga nilai lama yang baik dan relevan zaman sebagaimana salah satu kaidah nahdliyin, "Al-muhafazhatu 'ala al-qadimi as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah/menjaga yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik." 

Akhir kata, semoga harlah ini bukan sekedar seremonial tahunan. Namun setidaknya dengan penerapan tiga poin muhasabah tadi, PKB bukan terus dikenal sebagai partai Islam terbesar di Indonesia dalam 27 tahun terakhir, tapi juga partai modern yang teguh dengan nafas demokrasinya. Wallahul muwafiq illa aqwamith thorieq. 

*Penulis adalah Ketua PKB DPC Cianjur