Nihayatul Wafiroh: Negara Maju saat Lindungi Hak Asasi Perempuan!

Rahmad Novandri | Selasa, 10/12/2024 21:15 WIB
Nihayatul Wafiroh: Negara Maju saat Lindungi Hak Asasi Perempuan! Nihayatul Wafiroh (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa). (Foto: istimewa)

RADARBANGSA.COM - Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa Nihayatul Wafiroh menegaskan bahwa indikator kemajuan sebuah negara dapat dilihat dari seberapa tinggi komitmen negara dalam melindungi hak asasi perempuan.

Hal itu ia ungkap berkaitan dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang jatuh pada Rabu, 10 Desember 2024 dengan tema “Harmoni dalam Keragaman, Menyongsong Indonesia Emas".

“Ukuran kemajuan sebuah negara adalah bagaimana kondisi hak asasi perempuannya. Jika hak perempuan terjamin, maka negara tersebut disebut maju. Mengapa? karena perempuan, di manapun termasuk di Indonesia, posisinya masih lebih rendah dibanding laki-laki," kata Ninik di Jakarta, Selasa (10/12/2024).

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI ini menyatakan, dalam situasi sulit, ketimpangan relasi gender di Indonesia turut menjadi penyebab perempuan menjadi pihak yang paling berat menanggung risiko.

"Ya, ketimpangan relasi gender ini satu dari banyak penyebab perempuan semakin berat nanggung risiko. Baik itu risiko perempuan yang tinggal di wilayah pinggiran hutan, resiko tekanan ekonomi perempuan dalam kemiskinan ekstrim, risiko perempuan korban bencana alam, dan risiko perempuan berada dalam situasi konflik," ujarnya.

Ninik berujar, dalam kondisi terjepit, perempuan seringkali menjadi pihak yang menanggung risiko paling buruk. Ia mencontohkan seorang ibu yang mau melahirkan di Desa Matemega, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa, NTB, terpaksa digotong pakai tandu oleh masyarakat menuju puskesmas, yang berjarak sejauh 11 kilometer.

"Kondisi jalan yang buruk, apalagi saat kondisi hujan, terpaksa si ibu ditemani bidan menjalani kesakitan selama 5 jam dalam tandu, sampai menemukan jalan raya. Setelah di jalan raya, ia baru bisa dijemput menggunakan ambulance. Pasti si ibu mengalami kesakitan dan tekanan kekhawatiran yang tinggi. Kondisi ini sangat membahayakan ibu dan bayi," ujarnya.

Ninik pun menegaskan bahwa melahirkan dengan aman dan nyaman adalah hak asasi perempuan, yang harus dipenuhi oleh negara. 

Lebih lanjut Ninik menambahkan dalam situasi konflik, perempuan juga menjadi pihak yang paling menderita. Kalau terjadi konflik, perempuan juga menanggung rentetan penderitaan lebih banyak.

"Misalnya dalam konflik agraria. Petani kehilangan sawah atau lahan perkebunan keluarga. Maka para lelaki kehilangan mata pencaharian, mereka stress di rumah, dan terjadilah konflik dalam rumah tangga. Nah, karena posisi istri dalam rumah tangga secara kultural masih lebih rendah dibanding suami, maka ketika terjadi konflik semacam ini, perempuan dalam kerentanan kekerasan. Sudah jatuh miskin, menjadi korban kekerasan pula.” imbuhnya.

Situasi sulit turut menyumbangkan kekerasan di masyarakat, khususnya perempuan. Data SIMFONI-PPA tahun 2024, mencatat terjadinya 18.326 kasus kekerasan, 15.902 (86%) diantara korbannya adalah perempuan.

Sebagai solusi, legislator yang juga fokus pada bidang garap kependudukan ini mendorong pemerintah untuk melakukan afirmasi program-program pemenuhan hak dasar perempuan.

“Sebagai anggota dewan, saya mendorong pemerintah untuk melakukan kerja-kerja konkrit untuk perlindungan hak asasi perempuan. Investasi program dan anggaran untuk perempuan adalah langkah progressive yang urgent," pungkasnya.