Legislator PKB Pertanyakan Penyebab Indonesia Tidak Bisa Menjadi Penentu Harga Komoditas

M. Isa | Jum'at, 31/03/2023 21:06 WIB
Legislator PKB Pertanyakan Penyebab Indonesia Tidak Bisa Menjadi Penentu Harga Komoditas Anggota Komisi VI DPR RI Luluk Nur Hamidah (foto: dpr)

RADARBANGSA.COM - Komisi VI DPR RI melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Komoditas di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (30/3/2023). Dalam RDPU kali ini, Komisi VI DPR meminta masukan dari ekonom seperti Faisal Basri terkait persoalan komoditas yang ada di Indonesia.

Anggota Panitia Kerja (Panja) Komoditas Komisi VI DPR RI Luluk Nur Hamidah mempertanyakan alasan di balik tidak bisanya Indonesia menjadi penentu harga atau price maker komoditas. Padahal Indonesia menjadi pengekspor utama dalam beberapa komoditas besar seperti nikel, batu bara, bauksit, karet, kakao, hingga kelapa sawit.

“Contohnya kemarin ketika gonjang ganjing skandal minyak goreng. Diketahui bagaimana produksi kita (Indonesia) ini 51 juta ton sementara Malaysia 19 juta ton. Tapi tetap saja mereka (Malaysia) yang menentukan harganya. Mengapa Malaysia itu bisa menjadi acuan,?” tanya Luluk.

Menurutnya, jika mekanisme penentuan harga didasarkan oleh jumlah komoditas yang diekspor, maka seharusnya Indonesia bisa menjadi penentu harga dari komoditas kelapa sawit.

“Apakah karena Malaysia itu pernah di satu waktu dia memang sebagai pemain yang pertama kemudian dia yang menjadi acuan ataukah karena ada hal lain (seperti) politik (atau) yang lain yang itu jauh lebih bekerja,” tanyanya.

Menanggapi pertanyaan dari politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu, pakar Ekonomi Faisal Basri menjelaskan bahwa ada variabel yang menjadi penentu bisa atau tidaknya sebuah negara menjadi penentu harga, salah satunya adalah logistic cost. Dirinya menyampaikan bahwa logistic cost di Indonesia cukup tinggi, yaitu di angka 20 persen. Sehingga apabila bursanya ada di Indonesia, maka biaya yang harus dikeluarkan akan lebih besar.

“Struktur yang dibangun oleh pemerintahan Pak Jokowi tidak mengurangi secara signifikan biaya logistik yang kira-kira 20 persen dari ongkos, (sementara) negara-negara lain (hanya) satu digit (seperti) 8 persen (atau) 6 persen. Jadi kita tidak punya daya saing,” pungkasnya.


Berita Terkait :