Kritisi Kebijakan PPDB, Ketum Fatayat NU Minta Ditinjau Ulang

Rahmad Novandri | Jum'at, 26/06/2020 10:15 WIB
Kritisi Kebijakan PPDB, Ketum Fatayat NU Minta Ditinjau Ulang Anggia Erma Rini (Ketua Umum PP Fatayat NU). (foto @SeputarNU)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Erma Rini mengkritisi kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2020/2021. Ia menilai, sistem seleksi usia merupakan kebijakan salah kaprah dan harus ditinjau ulang.

Berdasarkan Keputusan Provinsi DKI Jakarta No. 501/2020 Tentang Petunjuk Teknis PPDB 2020/2021, dari kelima jalur masuk sekolah, yakni jalur zonasi, jalur afirmasi, jalur prestasi akademik dan Luar DKI Jakarta, jalur prestasi non-akademik, serta jalur pindah tugas orang tua dan anak guru, semuanya mencantumkan ketentuan seleksi usia tertua ke usia termuda. Untuk jalur zonasi dan jalur afirmasi, urutan seleksinya adalah usia tertua ke usia termuda, urutan pilihan sekolah, lalu waktu mendaftar. Sementara tiga jalur lainnya, kriteria usia tertua ke usia termuda juga diterapkan, meskipun bukan kriteria paling awal.

Selain itu, jelas Angia, alasan memberikan kesempatan masyarakat miskin agar dapat bersaing dengan dengan masyarakat mampu, tidak masuk di akal. Publik pasti menilai jalur zonasi dianggap pentingkan siswa berusia tua, padahal seharusnya zonasi diseleksi berdasarkan jarak. Zona itu jarak, yakni jarak antara tempat tinggal/domisili dengan lokasi sekolah.

"Jika banyak masyarakat miskin tersingkir di jalur zonasi lantaran tidak dapat bersaing secara nilai akademik dengan masyarakat mampu, seharusnya pemerintah mengoptimalkan jalur afirmasi yang mengakomodir kepentingan itu. Jangan malah mengacaukan sistem rekrutmen dengan kebijakan tidak logis dan tidak rasional, serta tidak relevan dengan semangat pendidikan itu sendiri," ujar Anggia melalui keterangan tertulisnya, Jumat, 26 Juni 2020.

Tanpa kriteria usia tertua ke usia termuda, tegasnya, sistem sekolah sebenarnya telah dirancang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Sudah ada patokan rata-rata usia di tiap-tiap jenjang sehinga hal ini sudah cukup. "PPDB sebagai seleksi umum, kriteria umumnya adalah prestasi siswa. Di belahan dunia manapun selalu demikian," kata Anggia.

Menurut Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu, dengan semangat mendekatkan lokasi sekolah siswa dengan tempat tinggalnya, maka langkah tersebut ikut mengatasi kemacetan Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Serta, dapat meringankan jarak dan waktu tempuh.

"Praktik jalur zonasi periode sebelumnya sebenarnya sudah baik. Karena itu, pemerintah jangan lagi menambah kerumitan dengan menambah kriteria yang tidak perlu," tandasnya.

Bila kebijakan ini dipaksakan, yang muncul justru rasa ketidakadilan di kalangan orang tua murid yang merasa anaknya tersingkir hanya gara-gara soal usia. Ketidakadilan itu misalnya anak yang memiliki tempat tinggal dekat dengan sekolah, namun berusia muda bakal kalah dengan usia yang lebih tua. Anak-anak yang sekolahnya dekat dengan rumah belum tentu bisa bersekolah di tempat tersebut apabila umurnya masih muda. Sebab skala prioritasnya faktor usia.

Peraturan Mendikbud RI No. 44/2019 tentang PPDB pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK menjadi alasan dan pedoman Dinas Pendidikan menerbitkan kriteria usia. Pasal 25 Ayat 2 aturan itu mengatakan, jika jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota/daya tampung terakhir menggunakan usia peserta didik yang lebih tua berdasarkan surat keterangan lahir atau akta kelahiran.

"Pasal inilah akar masalah kriteria usia. Apalagi, jarak yang diatur hanya berdasarkan kelurahan saja. Ke depan, agar lebih efektif sistem zonasi perlu ditingkatkan tidak hanya jarak kelurahan calon siswa ke sekolah, namun hingga jarak titik koordinat," ucapnya.

Anggia mengunkapkan, Mendikbud Nadiem Makarim merupakan ahli di bidang IT dan aplikasi start up. Pengalaman di Gojek mampu menghitung jarak tempuh per km dengan ongkos penumpang. Seharusnya, ujar Anggia, dia juga mampu menciptakan terobosan serupa dalam PPDB terkait titik koordinat sistem zonasi ini, bukan menetapkan kriteria yang menimbulkan kontroversi dan kekecewaan masyarakat.

Alternatif lain, paparny, setelah mempertimbangkan jarak tempuh, maka kriteria prestasi/nilai raport, pilihan sekolah, dan waktu mendaftar seharusnya sudah cukup menyelesaikan persoalan daya tampung sekolah yang penuh. Pemerintah melalui Kemendikbud dan Dinas Pendidikan seyogianya dapat mengkalkulasi secara matang dampak dan akibat yang terjadi dalam sistem rekrutmen jika menetapkan suatu kriteria.

"Dalam pendidikan, usia selalu tidak pernah menjadi masalah. Apalagi hanya selisih usia yang beberapa hari atau beberapa bulan saja. Konsep pendidikan global adalah pembelajaran di usia berapapun dan dari siapapun. Dalam Islam, kita malah diajarkan menuntut ilmu dari buaian ibu hingga liang lahat. Karena itu, sebaiknya pemerintah mengkaji kembali kebijakan tidak relevan yang memang perlu dievaluasi," pungkasnya.


Berita Terkait :