Ketua PBNU: MK Tidak Melegalisasi Perzinahan, Perkosaan dan Hubungan Sesama Jenis

Rahmad Novandri | Minggu, 17/12/2017 10:11 WIB
Ketua PBNU: MK Tidak Melegalisasi Perzinahan, Perkosaan dan Hubungan Sesama Jenis Ketua Pengurus harian Tanfidziyah PBNU, Robikin Emhas. (Dok Radarbangsa)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - Melalui Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 tanggal 14 Desember 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Judicial Review mengenai perluasan norma tentang zina, perkosaan dan hubungan sesama jenis yang saat ini pengaturannya ada di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang merupakan warisan kolonial.

Putusan tersebut tidak bulat alias ditempuh melalui dessenting opinion. 4 dari 9 hakim menyatakan pendapat berbeda terhadap penolakan  permohonan uji materi tersebut.

Ketua PBNU Robikin Emhas mengatakan bahwa rumusan norma zina dalam KUHP tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang ada di Indonesia, karena yang dikategorikan zina hanya hubungan kelamin laki-laki dan perempuan yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan dengan orang lain.

"Konsekuensinya, kalau kedua pelakunya single alias tidak berstatus nikah dengan orang lain maka menurut KUHP bukan zina dan tidak bisa dijatuhi hukuman dengan pasal perzinaan," terang Robikin dalam keterangan persnya yang diterima redaksi radarbangsa, Sabtu, 16 Desember 2017.

Robikin menerangkan, jika dibaca secara seksama,  dirinya tidak melihat MK menolak substansi permohonan perluasan norma yang diajukan pemohon. Dengan bahasa lain, MK tidak melegalisasi perzinaan, perkosaan dan hubungan sesama jenis. Namun MK berpendirian bahwa perluasan norma mengenai zina, perkosaan dan hubungan sesama jenis adalah domain positive legislature. Bukan wilayah negative legislature.

Secara singkat, jelasnya, positive legislature dapat diartikan sebagai tindakan melakukan penafsiran konstitusi secara aktif dengan cara membentuk suatu UU. Sedangkan penilaian bahwa suatu UU dan norma yang dihasilkan oleh pembentuk UU sebagai bertentangan dengan konstitusi merupakan negative legislature.

"Positive legislature adalah kewenangan cabang kekuasaan legislatif, sedangkan negative legislature merupakan domain cabang kekuasaan yudikatif. Dalam sistem ketatanegaraan kita, positive legislature diperankan oleh pembentuk undang-undang, yakni Pemerintah dan DPR. Sedangkan negative legislature menjadi kewenangan MK.

Sementara itu, menurut Robikin, berdasarkan hasil Munas Alim Ulama, Konbes NU bahwa KUHP selain sudah usang sehingga tidak compatiable dengan perkembangan masyarakat, beberapa norma KUHP bahkan tidak sesuai dengan landasan filosofis bangsa dan bertentangan dengan nilai-nilai agama yang ada di Indonesia. Diantaranya adalah norma tentang perzinaan, pemerkosaan dan hubungan sesama jenis.

"Dengan mempertimbangkan hal seperti itulah maka Munas Alim Ulama dan Konbes NU di NTB tanggal 23-25 November 2017 menjadikan Rancangan KUHP yang saat ini sedang dibahas di DPR dijadikan salah satu pokok bahasan. Diantara pesan Munas Alim Ulama dan Konbes NU adalah agar Pemerintah dan DPR segera merampungkan pembahasan Rancangan KUHP yang ada. Apalagi kehendak untuk merubah KUHP sudah ada sejak akhir tahun 1960-an," jelasnya.


Berita Terkait :