Abah Kiai Dimyati Rois dan Kisah-Kisah Memuliakan Perempuan (Catatan Pertama)

Redaksi | Sabtu, 11/06/2022 16:11 WIB
Abah Kiai Dimyati Rois dan Kisah-Kisah Memuliakan Perempuan (Catatan Pertama) Nihayatul Wafiroh sowan KH. Dimyati Rois dalam sebuah kesempatan (foto FB Nihayatul Wafiroh)

Oleh: Nihayatul Wafiroh*

Tulisan ini akan saya buat menjadi beberapa kali catatan, karena memang banyak sekali yang bisa ditulis dari sosok Almarhum Abah Kiai Dimyati Rois.

###

“Nang, Alam, kuat yo nang,” Ibu Nyai Tho’ah yang sedang berbaring menyapa putranya, Gus Alamudin Dimyati Rois yang masuk ke kamar beliau.

“Kulo kedah kuat Mi, kulo kedah nguatne adek-adek Mi, Umi kuat, kulo ngeh kuat, monggo sareng-sareng kuat umi (Saya harus kuat Umi, Saya harus menguatkan adek-adek Umi, Umi kuat saya juga kuat, mari Bersama-sama kuat Umi)” jawab Gus Alam dengan suara parau.

Kami enam orang yang ada di kamar Ibu Nyai tidak kuasa membendung air mata, tumpah lagi air mata kesedihan dan kehilangan yang mendalam dari Abah Kiai Dimyati Rois.

####

Saat takziah di Kaliwungu, saya berkesempatan datang awal setelah menempuh perjalanan darat 4 jam dari Jakarta, jadi bisa menemani Ibu Nyai Thoah dan mendengarkan cerita beliau mengenai kebaikan-kebaikan dari Abah Kiai Dimyati, terutama bagaimana beliau memperlakukan Ibu Nyai.

Sepanjang bercerita dengan menggunakan bahasa jawa halus, Ibu Nyai juga selalu tersenyum.

“Kulo niki, di rumah seperti ratu, diperlakukan oleh abah seperti ratu” kata Ibu Nyai. Sejak menikah, Abah Kiai tidak pernah membebani Ibu Nyai dengan permintaan macam-macam, tidak ingin membebani apapun ke Ibu Nyai. Hal ini dibenarkan oleh putri beliau Ning Arofah dan menantu beliau Ning Rina yang sepanjang kami mengobrol banyak menemani kami.

“Abah itu keperluan apapun yang menyangkut ibu, selalu abah sendiri yang mengerjakan. Kalau sedang haji atau umroh, Ibu itu kayak putri, tidak bawa tentengan apapun,” cerita Ning Arofah. Semua tas dan barang-barang Ibu Nyai yang membawa Abah Kiai, jadi dua tangan Abah Kiai membawa barang-barangnya Ibu Nyai dan barangnya Abah Kiai sendiri.

Ketika putra-putrinya menawari untuk membawakan, beliau menolak “barang-barang umimu, aku yang harus bawa” begitu jawaban Abah Kiai. Dan Ketika putra-putrinya meminta barang beliau saja yang untuk dibawakan, beliau tetap menolak. Bahkan baju-bajunya Ibu Nyai yang menyucikan Abah Kiai, dan lagi-lagi menolak Ketika putra-putri atau santri beliau menawarkan bantuan. Subhanallah.

“Abah itu orang yang sangat menjaga perasaan saya” kata Ibu Nyai. Menurut Ibu Nyai kalau Abah Kiai sedang ada acara di luar dan dulu saat putra-putri beliau masih kecil-kecil jadi Ibu Nyai tidak bisa menemani, pulangnya Abah Kiai selalu matur ke Ibu Nyai. “Tho’ah, awakmu ojo kaget ya, tadi aku ketemu rombongan Muslimat dan Fatayat, terus pada minta foto-foto bareng. Sepurane yo, terus awakmu jangan kaget.” Dan biasanya Ibu Nyai pasti dengan senyum akan membalas dengan santun “Mboten nopo-nopo bah”.

Menurut Ning Arofah, saat akan menerima tamu perempuan dan Ibu Nyai tidak bisa mendampingi, pasti Abah Kiai meminta Ning Arofah sebagai putri yang paling besar untuk menemani Abah Kiai menemui tamu. "Ojo turu disek nek tamune belum pulang," demikian pesan Abah Kiai.

Walaupun sudah ditemani oleh putrinya, Abah Kiai juga tetep akan melaporkan ke Ibu Nyai siapa saja tamu perempuan yang beliau temui. “Abah tidak perlu laporan ke Umi, kan sudah saya temani menemui tamu,” protes Ning Arofah. Namun Abah Kiai selalu meyakinkan putrinya bahwa apa yang beliau lakukan itu adalah yang memang seharusnya seorang laki-laki lakukan kepada isterinya, yakni menjaga perasaan isterinya.

Saya sendiri mengalami, saat saya sowan ke Abah Kiai Dimyati di Rumah Jabatan Anggota (RJA) DPR RI Gus Alam yang kebetulan samping rumah saya, Abah Kiai sedang sendirian duduk di kursi, lalu saya datang. Beliau langsung manggil Ibu Nyai. “Umi, Umi mrene konconi aku (temani aku), iki enek Nihayah” dan Ibu Nyai yang sedang di dalam kamar langsung keluar kamar dengan tersenyum “Njih bah.”

Abah Kiai tidak mau menerima tamu perempuan bila tidak ada Ibu Nyai, atau putri beliau yang menemani, dan ini saya mendapat kesaksian dari banyak orang.

Contoh lain bagaimana Abah Kiai menjaga perasaan Ibu Nyai itu saat beliau akan meninggalkan rumah. Abah Kiai tidak akan keluar rumah tanpa pamit ke Ibu Nyai. Beliau hingga ahir hayatnya tidak menggunakan HP, jadi kalau beliau dari sholat Jumat mau langsung jalan-jalan muter pesantren, beliau akan menyuruh santri matur ke Ibu Nyai. “Tolong bilang ke Umi, kalau aku jalan-jalan dulu, takut Umi khawatir nanti.” Kalau sekarang gampang, biasanya putra-putrinya atau santri akan matur via HP ke Ibu Nyai.

Menurut Ibu Nyai dulu pernah Abah Kiai sedang pergi jauh, terus ada kabar saudara wafat, beliau langsung takziah. Sampai rumah Abah Kiai langsung meminta maaf ke Ibu Nyai, karena pergi ke tempat kedua tanpa memberi tahu atau ijin ke Ibu Nyai (jaman dulu belum ada HP), dan Abah Kiai meminta keihlasan Ibu Nyai untuk memaafkannya, Masyaallah.

Memuliakan perempuan diawali dengan menjaga perasaan perempuan, menjaga perasaan perempuan sama dengan menjaga diri sendiri, itulah yang diajarkan oleh Abah Kiai Dimyati Rois.

*Penulis adalah Anggota Fraksi PKB DPR RI Dapil Jatim III dan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI