Pandemi, Pra-Kerja dan Pemburu Rente

M. Isa | Kamis, 28/05/2020 21:50 WIB
Pandemi, Pra-Kerja dan Pemburu Rente Muhammad Iksan.

Oleh: Muhamad Iksan*

RADARBANGSA.COM - Di awal bulan Syawal 1441 H ini, saya tertarik membahas tentang Pandemi, Pra-Kerja, dan Pemburu Rente. Topik ini saya pilih untuk pelajaran bagi kita semua, perihal bagaimana pandemi mempengaruhi kondisi ekonomi kita. Saya percaya sudah banyak tulisan dan diskusi yang membahas kartu pra-kerja, berfungsi sebagai jaring pengaman sosial di kala pandemi.

Namun saya ingin membahasnya dari aspek ekonomi politik, terutama teori pilihan publik (public choice), menyangkut perilaku perburuan rente (rent seeking). Mirisnya perilaku rent-seeking tidak pernah hilang seiring berkembangnya teknologi dan perubahan ekonomi konvesional menjadi ekonomi berbasis informasi.

Sekurangnya terdapat dua asumsi dalam menganalisis keterkaitan kartu pra-kerja, pandemi, dan pemburu rente: pertama, karena alasan pandemi maka kartu pra-kerja sebagai bentuk perlindungan sosial bagi kelas pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi wajib ada.

Seperti diakui Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Iskandar Simorangkir, walaupun sebagaimana diakui Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin belum matang dalam persiapannya. Sekali lagi, karena pandemi maka pemerintah dapat berkilah, kebijakan kartu pra-kerja akan disempurnakan sambil berjalan.

Kedua, bagi saya kartu pra-kerja dengan skema penunjukan langsung walaupun sudah terbagi ke banyak (lebih dari satu) penyedia pelatihan daring (on-line), dengan berbagai macam pelatihan-pelatihan yang lucu dan tidak berkualitas, justru membuka peluang legalisasi perilaku pemburuan rente.

Apalagi sudah muncul laman situs seperti Prakerja.org atau pelatihan gratis di media sosial yang bisa diakses secara gratis, oleh semua orang. Memang tidak gratis alias memerlukan kuota internet. Adakah diantara para pembaca Radar Bangsa yang pernah mengakses Prakerja.org ini?

Kita sama-sama mafhum minimal memerlukan pengorbanan untuk banyak hal, tidak makan siang yang gratis (There is no such thing as free lunch), misalnya tulisan saya ini biayanya 95 New Taiwan Dollar (setara 47,500 Rupiah) untuk segelas kopi saat ia dibuat. Namun menghabiskan uang pajak anda semua 5.6 Trilyun Rupiah untuk pelbagai soft-skill yang bisa dipelajari mandiri adalah sebuah kekonyolan yang tidak bisa dimaafkan.

Pandemi dan Pra-kerja
Seperti saya narasikan di atas saat masa pandemi berkecamuk, lazimnya active government policy bekerja di mana pemerintah berusaha melindungi rakyat di satu sisi; menjaga ekonomi tetap berputar di sisi lain. Niat pemerintah memang baik, tapi memerlukan kejelian melihat efek tidak terlihat dari suatu kebijakan.

Di masa pandemi, pilihan kebijakan pemerintah juga bersifat drastis dengan tidak mengikuti kelaziman di masa normal. Alasan kondisi pandemi atau new normal seolah memaksa perubahan aturan main yang dianggap tidak sesuai seperti aturan di masa normal.

Ekonom menyebutkan biaya kesempatan (opportunity cost). Frederic Bastiat menyebutkan yang tidak terlihat (what is not seen), ketimbang hanya memperhatikan yang terlihat (what is seen), sepatutnya pembuat kebijakan pemerintah dan juga para wakil rakyat cermat dalam bersikap. Roda pemerintahan selayaknya tidak mulai dari nol atau hal yang sama sekali baru. Pengalaman pemerintahan sebelumnya yang baik dapat disempurnakan misalnya program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial lainnya. Tidak perlu memaksakan hal yang baru di masa pandemi, seperti pra-kerja yang sejatinya dirancang sebagaimana janji Presiden saat kampanye 2019.

Saya bukan ahli hukum yang bisa menakar dan melihat adakah persoalan memaksakan kartu pra-kerja hadir dimasa sulit ini, termasuk perbuatan melawan hukum. Saya hanya ingin mengulasnya dari displin ilmu yang saya mengerti.

Pra-Kerja dan Perburuan Rente

Artikel Anif Punto Utomo ini dapat menjadi rujukan historis tentang perilaku rent seeking. Ia tidak pernah hilang, hanya berganti wujud seiring kebijakan pemerintah Indonesia dari masa ke masa. Orde Lama Soekarno, Orde Baru Soeharto, dan era pandemi saat ini pemburu rente tetap bekerja.

Pemburu rente ini pada dasarnya ialah pengusaha juga, yang dikenal dengan bisnis rintisan (start-up), menjadi primadona ditengah disrupsi teknologi digital.

Pengusaha usaha rintisan yang sudah berhasil menjadi bisnis dan industri berskala nasional bahkan merambah ke mancanegara, tentu saja memiliki praktik dan nilai entrepreneur yang berharga buat perkembangan ekonomi kita. Namun apakah semua perilaku kewirausahaan adalah produktif?

Belum tentu. Saya mengutip makalah William J Baumol yang dipublikasikan oleh Journal of Political Economy, Universitas Chicago – Amerika Serikat. Baumol mengajukan judul tulisannya “entrepreneurship: productive,unproductive and destructive”. Makalah dua puluh delapan halaman ini berisikan tiga proposisi.

Proposisi pertama berbunyi, saya terjemahkan bebas, aturan main (the rules of the game) yang menentukan seberapa besar entrepreneur mendapat untung (atau menanggung rugi) dapat berubah drastis seiring perubahan waktu dan tempat.

Proposisi kedua berisikan perilaku/tindakan entrepreneur berubah mengikuti “arah angin” perekonomian dalam kerangka aturan main yang telah berubah.

Proporsi ketiga mengulas alokasi entrepreneur dalam aktivitas yang produktif maupun tidak produktif bahkan bisa menjadi destruktif (merusak), berhubungan erat dengan aturan main, akan berdampak mendasar terhadap inovasi ekonomik dan tingkat penemuan teknologi baru.

Kembali ke argumen Baumol, Ia berhasil menyajikan bukti historis dari era Romawi Kuna, China Abad Pertengahan, dan sederet perjalanan peradaban lampau. Kesemua bukti historis untuk membuktikan tiga proposisi di atas sahih.

Saya kuatir, bila kartu pra-kerja tidak dihentikan, ia hanya menjadi contoh baru pemburu rente yang difasilitasi Negara untuk alasan pandemi. Dan Indonesia kembali menjadi penyumbang contoh jelek kepada peradaban manusia, bagaimana pemerintahnya gagal membuat aturan main beradaptasi dengan tantangan era pandemi, agar tidak menyuburkan perilaku pemburu rente.

Padahal, saya sungguh percaya bahwa kelas baru pengusaha usaha rintisan punya beragam jurus, untuk survive dan tumbuh, tanpa uluran tangan pemerintah. Atau memang hanya dana pajak pemerintah yang bisa menyelamatkan para pengusaha, entahlah.



*Muhamad Iksan adalah peneliti pada lembaga riset Paramadina Public Policy Institute di bawah Universitas Paramadina – Jakarta. Saat ini sedang bersekolah di National Cheng-Kung University (NCKU) – Tainan, Taiwan.


Berita Terkait :