Alih Bentuk Sertifikat Tanah ke Elektronik Tak Boleh Bebani Rakyat

M. Isa | Jum'at, 23/05/2025 21:36 WIB
Alih Bentuk Sertifikat Tanah ke Elektronik Tak Boleh Bebani Rakyat Anggota Komisi II Fraksi PKB DPR RI Mohammad Toha (foto: istimewa)

RADARBANGSA.COM - Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Mohammad Toha menyampaikan tanggapan kritis terhadap kebijakan pemerintah yang mewajibkan konversi sertifikat tanah lama, khususnya yang diterbitkan antara tahun 1961 hingga 1997, menjadi sertifikat elektronik.

Toha menekankan pentingnya kehati-hatian, transparansi, dan keadilan dalam pelaksanaan kebijakan ini. Ia menyebut bahwa kebijakan tersebut berpotensi membingungkan masyarakat, terutama pemilik sertifikat lama yang belum akrab dengan sistem digital.

"Pemerintah harus memastikan bahwa proses alih bentuk ini tidak membebani rakyat, terutama masyarakat kecil yang tinggal di desa atau yang akses informasinya terbatas. Sosialisasi dan pendampingan menjadi sangat penting," ujar Toha, Jumat (23/5/2025).

Lebih lanjut, mantan Wakil Bupati Sukoharjo dua periode itu mempertanyakan teknis implementasi kebijakan ini, termasuk soal bentuk sertifikat elektronik yang akan diterima masyarakat.

"Pertanyaannya sekarang, apakah masyarakat nantinya hanya akan menerima sertifikat elektronik non fisik atau tetap mendapatkan dokumen fisik dengan format baru? Ini harus dijelaskan secara rinci. Banyak warga masih memegang erat sertifikat fisik sebagai bukti kepemilikan sah," katanya.

Toha juga menyoroti aspek keamanan data dalam sistem elektronik ini. Ia menilai bahwa tanpa sistem perlindungan siber yang kuat, sertifikat elektronik bisa menjadi sasaran empuk bagi peretas atau penyalahgunaan data.

"Jangan sampai hak rakyat atas tanahnya justru terancam karena sistem belum siap. Keamanan data harus menjadi prioritas utama, jangan sampai niat baik digitalisasi malah membuka celah baru bagi kejahatan digital," tegas anggota DPR RI empat periode itu.

Legislator asal Dapil Jawa Tengah V itu mengingatkan bahwa modernisasi layanan publik tidak boleh mengabaikan hak-hak dasar masyarakat dan prinsip keadilan.

"Digitalisasi itu penting, tapi jangan sampai jadi alat peminggiran hak rakyat. Pemerintah harus menjamin hak kepemilikan tanah tetap terlindungi dan mudah diakses oleh masyarakat luas, bukan hanya mereka yang melek digital," tutupnya.

Apalagi, tambah Toha, pengurusan sertifikat elektronik itu membutuhkan biaya. Pemilik tanah diwajibkan membayar Rp 50 ribu. Itu belum termasuk biaya yang dikeluarkan pemilik tanah untuk fotocopy dokumen, membeli materai, dan kebutuhan lainnya.

"Biayanya pasti lebih dari Rp 50 ribu. Itu belum termasuk biaya transportasi, karena banyak masyarakat yang rumahnya jauh dari kantor BPN. Belum lagi waktu yang dibutuhkan cukup lama. Jadi jangam sampai membebani rakyat," tegasnya.

Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid meminta kepada pemilik sertifikat tanah fisik terbitan 1961-1997 untuk segera diperbarui ke sertifikat elektronik (Sertipikat-el). Cara itu dilakukan karena sertifikat yang terbit pada periode tersebut tidak memiliki peta kadastral


Berita Terkait :