PKB Minta Pastikan Sistem Perlindungan PMI sebelum Pembukaan Moratorium ke Saudi

M. Isa | Selasa, 29/04/2025 20:51 WIB
PKB Minta Pastikan Sistem Perlindungan PMI sebelum Pembukaan Moratorium ke Saudi Zainul Munasichin (Sekretaris OC Muktamar PKB). (Foto: istimewa)

RADARBANGSA.COM - Rencana pemerintah untuk mengakhiri moratorium penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi pada Juni 2025 menuai perhatian serius dari berbagai pihak.

Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Zainul Munasichin, mendesak pemerintah untuk memastikan penguatan sistem perlindungan PMI sebelum kebijakan tersebut diberlakukan.

Zainul menekankan perlunya Memorandum of Understanding (MoU) yang kuat antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi guna menjamin hak-hak dan keselamatan PMI di negara tujuan. Ia meminta agar sistem penempatan dan perlindungan pekerja dibangun secara komprehensif dan aplikatif, melibatkan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan Ministry of Human Resources and Social Development (MHRSD) Arab Saudi.

“Sistemnya harus benar-benar dapat diaplikasikan dan kompatibel, tidak hanya sekadar di atas kertas. Kami juga mengusulkan agar pencabutan moratorium dilakukan secara terbatas sebagai uji coba sistem. Jika berhasil, barulah dibuka secara lebih luas,” ujar Zainul.

Dalam rencana pembukaan moratorium, pemerintah menawarkan sistem penempatan pekerja sektor domestik melalui agensi (maktab istiqdam). Sistem ini akan melibatkan PMI, pemberi kerja, agensi, dan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Zainul mempertanyakan efektivitas sistem ini dalam menjamin perlindungan PMI.

“Apakah sistem penempatan melalui agensi dapat menjamin perlindungan pekerja migran kita? Kita tahu bahwa supply and demand pekerja migran Indonesia di Arab Saudi tinggi. Namun, perlindungan terhadap pekerja migran harus menjadi prioritas utama,” tegasnya.

Zainul mengapresiasi upaya pemerintah dalam mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi PMI di Arab Saudi, termasuk tingginya risiko eksploitasi akibat kontrak langsung dengan pemberi kerja dan tinggal di kediaman mereka selama 24 jam. Ia menyoroti tantangan pengawasan dan perlindungan di lingkungan privat pemberi kerja.

“Di Arab Saudi, privasi sangat dihormati. Bahkan polisi pun kesulitan melakukan pemeriksaan jika tuan rumah menolak dengan alasan privasi. Bagaimana sistem agensi dapat menyelesaikan masalah kekerasan yang terjadi di rumah pemberi kerja? Mampukah sistem agensi memberikan bantuan maksimal kepada pekerja migran yang mengalami kekerasan?” tanya Zainul.

Sebagai solusi, Zainul mengusulkan sistem perekrutan satu kanal melalui syarikah (perusahaan di Arab Saudi). Sistem ini memungkinkan pengawasan yang lebih baik karena melibatkan PMI, syarikah, dan pemberi kerja tanpa adanya kontrak langsung antara pekerja dan majikan.

“Semuanya melalui syarikah, dan tidak ada kontrak langsung dengan pemberi kerja. Syarikah harus mendeposit sejumlah dana yang akan digunakan jika pemberi kerja tidak membayar upah pekerja migran,” jelasnya. Selain itu, syarikah juga menyediakan mess sebagai tempat tinggal PMI, sehingga meminimalisir potensi eksploitasi.

Diperkirakan, potensi remitansi PMI dari Arab Saudi pada tahun 2025 mencapai USD 2,45 miliar, dengan target penempatan 400.000 pekerja, meningkat 42,9% dari tahun 2024. Zainul mengingatkan bahwa selama moratorium, masih terdapat 183.000 pekerja yang berangkat secara ilegal, dan 25.000 kasus serupa terjadi pada tahun 2024. Hal ini semakin menggarisbawahi urgensi penguatan sistem perlindungan sebelum moratorium dicabut.

TAG : PMI , MORATORIUM