
RADARBANGSA.COM - Rentetan kasus kekerasan seksual yang dilakukan para dokter memicu keprihatinan banyak kalangan. Anggota Komisi IX dari Fraksi PKB DPR RI Arzeti Bilbina mendesak Kementerian Kesehatan meningkatkan pengawasan dan memberikan sanksi keras kepada para oknum dokter yang terbukti bersalah.
“Tidak ada toleransi bagi pelaku kejahatan seksual, apalagi bagi dokter. Kami tidak ingin pasien menjadi takut untuk berobat karena merasa tidak aman saat memeriksakan kesehatannya. Oleh karena itu, kami mendesak Kementerian Kesehatan untuk bekerja sama dengan seluruh rumah sakit dalam meningkatkan pengawasan guna mencegah terulangnya kasus serupa,” tegas Arzeti di Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Dia menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit telah mengatur dengan jelas hak dan kewajiban berbagai pihak. Pasal 6 menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab memberikan perlindungan kepada masyarakat pengguna jasa pelayanan rumah sakit sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, pasien berhak atas keamanan dan keselamatan diri selama menjalani perawatan di rumah sakit.
“Ini berarti pasien harus terbebas dari rasa takut dan khawatir terhadap segala bentuk kejahatan selama berada di rumah sakit. Rumah sakit memiliki kewajiban untuk menjamin keamanan dan keselamatan pasien,” ujarnya.
Dia menilai bahwa peristiwa kekerasan seksual di lingkungan rumah sakit merupakan tindakan kriminal murni. Untuk pelaku harus dihukum berat tidak hanya dari unsur pidana namun dari etika kedokteran. “Ada korban yang dibuat tidak sadar sebelum diperkosa. Ini menunjukkan bahwa pelaku menyalahgunakan kekuasaan dan kemampuannya untuk melakukan kejahatan seksual.,” katanya.
Legislator asal Dapil Jatim I ini menilai rentetan kasus kekerasan seksual oleh para dokter harus menjadi momentum pembenahan menyeluruh, mulai dari sistem pengawasan di rumah sakit hingga sistem pendidikan kedokteran. Menurutnya respons cepat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang dikabarkan akan menerapkan tes kepribadian menggunakan metode Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) sebagai upaya penyaringan potensi gangguan psikologis calon dokter layak diapresiasi.
Lebih lanjut, Arzeti menekankan pentingnya koordinasi dan kolaborasi yang intensif antara Kemenkes dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi kedokteran untuk mencegah terulangnya kasus serupa dan memberikan efek jera kepada pelaku. “Dalam waktu dekat, Komisi IX DPR RI akan mengadakan pertemuan dengan Kemenkes untuk membahas kasus ini secara lebih mendalam, mengidentifikasi akar permasalahan, dan mencari solusi bersama untuk mencegah kejadian serupa di masa depan,” pungkasnya.