RADARBANGSA.COM - Anggota Komisi II dari Fraksi PKB DPR RI Indrajaya merespon target Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) Basuki Hadimuljono yang akan merampungkan pembangunan infrastruktur sektor legislatif dan yudikatif di IKN pada 2028 mendatang. Menurutnya, target tersebut dinilai terlalu bombastis.
"Target OIKN terkesan muluk-muluk (bombastis), karena itu perlu tahapan pembangunan yang terukur, termasuk upaya menyelesaikan berbagai dampak pembangunan yang terjadi," ujar Indrajaya dalam keterangannya, Selasa (7/1/2025).
Indrajaya mengingatkan agar OIKN lebih realistis dan menerapkan target pencapaian pembangunan (milestone) yang terukur, mengingat APBN 2025 untuk IKN masih sejumlah Rp 6,3 triliun dari rancangan anggaran sebesar Rp400,3 triliun.
Target Ketua OIKN adalah imbas dari rencana Presiden Prabowo Subianto yang akan berkantor di IKN pada 17 Agustus 2028. Namun, Prabowo mensyaratkan bila IKN telah berfungsi sebagai Ibu Kota Politik.
"Artinya, selain Istana Negara, di IKN juga telah berdiri Gedung DPR RI, Mahkamah Agung, Kejaksaan RI, dan Mabes Polri," terangnya.
Dalam Siaran Pers Kantor Komunikasi Kepresidenan (10/12/24), Prabowo terang-terangan menyatakan bahwa jika perpindahannya ke IKN tidak dapat dilakukan pada 2028, maka akan dilaksanakan pada 2029. Atau dengan kata lain, bila infrastuktur gedung yang berperan sebagai Trias Politika (checks and balances) ini tidak terpenuhi, maka tidak ada beban bagi Presiden Prabowo untuk menunda perpindahannya ke IKN.
Prabowo meyakini tanpa berdirinya tiga gedung pilar negara di IKN. Lembaga negara dan fungsinya akan terhambat. Ketiganya memiliki tugas dan kewenangan masing-masing, tetapi tetap terikat dalam suatu tata hubungan sesuai kewenangan dan batasan yang ditetapkan UUD 1945.
"Idealnya gedung lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sama-sama berdiri di Ibu Kota Negara," kata Indrajaya
Indrajaya berharap agar Ketua OIKN dapat menerjemahkan keinginan presiden lebih realistis dan argumentatif, "Membangun Gedung DPR, Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung selain berbiaya besar, lahan yang luas, juga harus memperhatikan sumber air, listrik, akses atau jalan, serta dampak-dampak yang akan terjadi. Ini tidak mudah, perlu kajian mendalam yang melibatkan banyak ahli," terangnya.
Legislator asal Dapil Papua Selatan itu juga merinci beberapa dampak yang penyelesaiannya melibatkan semua lembaga negara, mulai dari dampak sosial, lingkungan, budaya, ekonomi, politik, keamanan, dan lainnya. "Perpindahan ke IKN bukan soal kecepatan tapi kesiapan," urainya.
Indrajaya mencontohkan beberapa negara gagal meramaikan ibu kota barunya. Dua negara terdekat yang tidak berhasil adalah Korea Selatan dari Seoul ke Sejong, dan Myanmar dari Kota Yangon ke Naypyidaw.
Dua kota baru di negara tetangga ini sepi penghuni. Para pegawai pemerintah enggan pindah karena dianggap kurang menopang berbagai aktivitas strategis dan terbatasnya akses publik serta keterpenuhan kebutuhan ekonomi, sosial, budaya.
Ada juga perpindahan kota baru yang dinilai terburu-buru karena faktor politik, seperti di Negara Tanzania dari Kota Dar Es Salaam ke Dodoma dan Negara Kazakhstan dari ibu kota Almaty ke Astana.
Kedua negara ini berharap terjadi pemerataan pertumbuhan penduduk yang sudah membludak, namun justru membuat perekonomian kedua negara terpuruk. Yang ironis, perpindahan Ibu Kota Nigeria dari ibu kota Lagos ke Abuja justru membuat.negara tergolong miskin ini menjadi semakin miskin.
Berdasar pengalaman negara-negara gagal dalam memindahkan ibu kota tersebut, Indrajaya berpandangan, syarat Presiden Prabowo Subianto berkantor di IKN setelah berfungsinya lembaga politik sebagai keputusan strategis dan visioner.
"Jangan sampai pembangunan yang buru-buru, justru menciptakan kerugian yang lebih besar," pungkas Indrajaya.