Penjelasan Mengapa Kebakaran Hutan Lebih Masif Saat Musim Kemarau

Anata Lu’luul Jannah | Selasa, 29/09/2020 17:20 WIB
Penjelasan Mengapa Kebakaran Hutan Lebih Masif Saat Musim Kemarau Presiden Jokowi Tinjau salah satu lokasi Kebakaran Hutan di Riau (foto: page @jokowi)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM  Kebakaran Hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia telah menjadi bencana rutin tiap tahun. Kebijakan dan upaya di lapangan terus dilakukan oleh berbagai lembaga dari pusat hingga daerah.

Pengamat lingkungan pada umumnya mengatakan jika kebakaran hutan terjadi karena dua faktor, pertama faktor ulah manusia (industri) dan kedua karena faktor alam.

Saat ini sepertinya yang banyak dikatakan, jika sebagian besar penyebab dari karhutla adalah arogansi industri demi kepentingan bisnis. Beberapa industri yang kerap dilabeli sebagai perusak lingkungan ini adalah pelaku industri sawit.

Namun, disamping banyaknya statement kebakaran hutan akibat ulah industri ini rasanya kurang adil jika masyarakat tidak tahu kalau terdapat faktor kedua yang dapat  memicu kebakaran hutan, yaitu faktor alam.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengkonfirmasi  jika memasuki musim kemarau akan lebih banyak ditemukan karhutla dengan sebaran yang lebih luas dan intensitas yang sangat tinggi. Fenomena  ini terjadi tepat pada saat kondisi iklim sedang mengalami musim kemarau panjang dengan curah hujan sangat rendah, atau sering disebut El-Nino.

“Memang secara umum, karhutla terjadi setiap tahun. Namun kajian kami menemukan pada tahun-tahun kering tersebut, misalnya tahun 2002, 2006 dan 2015, kejadian karhutla meningkat secara eksponensial, bahkan hingga delapan kali lipat dibandingkan tahun-tahun biasa,” ungkap Peneliti Bidang Ekolog, Sugeng Budiharta dalam keterangannya.

Melalui Jurnal Ilmiah Global Environmental Change, LIPI mencatat jika karhutla paling sering terjadi pada lahan gambut. Lahan Gambut ini terdegradasi berat dengan tutupan hutan yang terbatas sehingga mengalami kebakaran jauh lebih parah dibandingkan pada lahan non-gambut dengan kondisi hutan yang masih baik.

Pada kondisi aslinya dengan tutupan hutan yang baik, lahan gambut hampir selalu basah sepanjang tahun. Namun seringkali, untuk pembukaan lahan pertanian, perkebunan dan kehutanan, hutan pada lahan gambut ditebang dan gambutnya dikeringkan dengan cara membuat kanal.

Gambut kering dengan tutupan hutan yang minim tersebut kemudian diprediksi menjadi bahan bakar yang awet, terutama pada tahun-tahun kemarau panjang. Selain iklim dan kondisi lahan, sektor penggunaan lahan juga menentukan pola dan tingkat keparahan karhutla.

“Saat ini dan beberapa bulan ke depan, sebagian besar wilayah Indonesia akan memasuki musim kemarau. Meskipun di beberapa daerah hujan masih terjad dan bahkan mengakibatkan banjir, potensi resiko kekeringan dan karhutla akan masih mengintai di bulan-bulan mendatang,” kata Sugeng.


Berita Terkait :