Sejarah Sunan Drajat, Walisongo Miliki Tujuh Ajaran Luhur

Rahmad Novandri | Jum'at, 08/03/2024 18:55 WIB
Sejarah Sunan Drajat, Walisongo Miliki Tujuh Ajaran Luhur Sunan Drajat. (Foto: tangkapan layar)

RADARBANGSA.COM - Sunan Drajat adalah salah satu Walisongo yang menybarkan Islam di Tanah Jawa. Ia bernama Raden Qasim yang lebih dikenal dengan Sunan Drajat.

Sunan Drajat adalah putra bungsu Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila. Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470M. Orang tua Sunan Drajat dari jalur ayah bernama Raden Rahmat yang terkenal dengan Sunan Ampel, salah seorang Walisanga yang memiliki wilayah dakwah di daerah Ampel Denta, Surabaya.

Sementara itu, orang tua Sunan Drajat dari pihak ibu bernama Nyai Ageng Gede Manila atau Candrawati, putri Arya Teja IV, seorang adipati Tuban yang masih mempunyai hubungan nasab dengan Ronggolawe. Raden Qosim adalah Adik Nyai Patimah, Nyai Wilis, Nyaitaluki dan Raden Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang).

Dengan demikian berarti garis nasab Sunan Drajat sama dengan Sunan Bonang yang berasal dari Sunan Ampel yakni berdarah Champa-Samarkand-Jawa karena Sunan Ampel adalah putra Ibrahim Asmarakandi. Semasa muda, Sunan Drajat terkenal dengan sebutan Raden Qasim, Qosim, atau Kasim. Selain itu, masih banyak nama lain yang disandangnya, antara lain Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.

Sebagimana Sunan Bonang, Sunan Drajat juga dididik di lingkungan jawa karena keluarga ibunya berasal dari keluarga bupati. Hal tersebut berdampak pada pengetahuannya tentang budaya jawa, ilmu, bahasa, sastra dan agama lebih dominan bercorak jawa. Seperti Sunan Bonang juga, Sunan Drajat dikenal pandai mengubah berbagai tembang jawa. Sejumlah tembang macapat langgam pangkur diketahui telah diubah oleh Raden Qosim (Sunyoto 2016:306). Peninggalan beliau hingga saat ini tersimpan rapi di museum khusus Sunan Drajat di wilayah lamongan.

Dalam menjalani agama, Raden Qosim belajar kepada ayahnya Sunan Ampel kemudian ke Cirebon untuk berguru pada Sunan Gunung Jati. Menurut tradisi yang berkembang, ada kecenderungan seorang kiai akan menyuruh anaknya untuk mengaji kepada kiai lain yang dipercaya memiliki ilmu lebih tinggi, baik itu dahulunya adalah kawan mengaji maupun mantan santrinya.

Tradisi itu tampaknya juga berlaku pada diri Raden Qasim saat masih remaja. Seperti diketahui umum bahwa Sunan Ampel adalah guru semua para wali, termasuk Syarif Hidayatullah yang merupakan santri di Ampel Denta Surabaya yang setelah lulus memperoleh tugas mengembangkan agama Islam di Cirebon.

Selama belajar di Cirebon, beliau banyak dikenal dengan sebutan Syekh Syarifuddin dan bergelar Pangeran Drajat. Selama di Cirebon Raden Qasim diminta membantu tugas dakwah oleh Sunan Gunung Jati kepada masyarakat Cirebon, agaknya tidak ada kesulitan karena bahasa yang dipakai oleh masyarakat di sana adalah bahasa Jawa Cirebon.

Pangeran Drajat muncul Drajatnya menjadi anggota Walisanga melalui musyawarah para wali di Balai Sidang Para Wali di kompleks Keraton Pakungwati setelah Syeh Siti Jenar dihukum pancung (Tim Peneliti Unpad 1992:169-170). Raden Qosim kemudian menikah dengan putri Sunan Gunung Jati yang bernama Dewi Sufiyah yang dikaruniai tiga putra dan putri yaitu Pangeran Trenggana, Pangeran Sandi dan Dewi Wuryan. Selain menikah dengan Dewi Sufiyah, Raden Qosim juga menikah dengan Nyai Kemuning dan nyai Retna Ayu Candra. Dakwah yang dilakukan oleh Raden Qosim atau Sunan Drajat pada mulanya dilakukan atas petuah Sunan Ampel yaitu berdakwah ke pesisir pantai Gresik, hingga akhirnya menetap di wilayah Drajat Lamongan.

Untuk menempati wilayah tersebut, Raden Qosim dengan diantar oleh Sunan Bonang menghadap Sultan Demak untuk meminta izin bertempat tinggal di kawasan itu. Sultan Demak I tidak hanya mengizinkan untuk bertempat tinggal, melainkan memberikannya. Keputusan pemberian tanah perdikan ditetapkan empat tahun kemudian, yaitu pada tahun Jawa 1486.

Berkenaan dengan tanah perdikan tersebut, Sultan Demak I juga mengangkat R. Imam sebagai penguasa tanah perdikan dengan gelar Sunan Mayang Madu. Luas area tanah perdikan yang kemudian bernama Desa Perdikan Drajat tersebut tidak disebutkan dan tidak dibatasi. Sekalipun Sunan Mayang Madu dapat mengambil tanah yang masih berwujud hutan belantara tanpa batas, tetapi beliau mengambilnya sekadar yang diperlukan pada waktu itu.

Tanah yang diambil itu hanya diberi batas hidup berupa pohon. Pohon batas itu setidaktidaknya sampai dengan tahun 1960 masih ada. Tanah perdikan yang terletak di sebelah selatan Kampung Jelak atau Banjarwati secara ekonomis jelas tidak menguntungkan, sebab area tanah tersebut bertanah kapur yang gersang, tetapi dari segi dakwah Islam, mungkin sudah diperhitungkan sebagai tempat yang cukup strategis.

Sunan Drajat dikenal sebagai penyebar Islam yang berjiwa sosial tinggi dan sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin serta lebih mengutakan kesejahteraan sosial masyarakat. Setelah memberikan perhatian penuh terhadap kondisi masyarakat, barulah Sunan Drajat memberikan pemahaman tentang Islam. Ajarannya lebih menekankan pada empati dan etos kerja berupa kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial dan gotong royong. Makam dan peninggalannya hingga sekarang masih terjaga di situs makam Sunan Drajat di Lamongan.

Secara umum ajaran Sunan Drajat dikenal dengan istilah pepali pitu (tujuh dasar ajaran) yang mencakup tujuh falsafah yang dijadikan pijakan dalam kehidupan.

Ajaran Sunan Drajat:

1. Laksitoning subroto lan nyipto marang pringgo bayaning lampah / ing dalem makaryo lan nyipto dhatêng keluhuran mêsthi lampahe pakewuh lan bilahi / dalam melakukan suatu usaha pasti ada rintangannya. 

2. Mêpêr hardêning poncodriyo / nyirêp nêpsu dêning piranti ngrêrasakake ing angganing manungsa (pandêlêng, pangambu, pangrasa, pangrasa ilat, pangrungu) / menahan nafsu indrawi. 

3. Mulyo guno ponco wêktu / Mulyo sagêd limo wêktu / lima waktu yang mulia. 

4. Memangun rêsêp tyasing sasomo / mujudake rasa sênêng sêsami / membangun rasa senang hati sesama. 

5. Paring têkên marang kang kalunyon lan wuto / pawèh tuntun marang kang kêpèlèsèdake lan wuto // paring pangan marang kang Kalirên / pawèh rêjêki marang kang ngêlih kêkurangan pangan // paring sandhang marang kang kawudan / pawèh Sandhang marang kang kawudan // paring payung kang kodanan / pawèh eyub-eyub marang kang kêjawahan // berilah tongkat kepada yang menapaki jalan licin dan buta, berilah rizkimu kepada yang kelaparan, berilah sandang kepada yang tidak punya, berilah tempat berteduh kepada yang kehujanan. 

6. Jroning suko kudu èling lan waspodo / ing dalem kasênêngan kudu èngêt lan waspaos // dalam suasana gembira hendaknya tetap ingat (tuhan dan kejadian yang telah berlalu) dan selalu waspada.

7. Hênêng – hêning – hênung / Wong mênêng iku ana sajabaning pakewuh – ing dalêm mênêng ana kêbêningan - ing dalem bêninge ati ana kapintêran lan kamulyan // diam, jernih dan mulia / dalam diam akan dicapai keheningan, dalam hening akan dicapai jalan kebebasan mulia. (Sumber: Indonesiana)


Berita Terkait :