Sejarah Lahirnya UUD 1945 Menjadi Konstitusi Negara Indonesia

Rahmad Novandri | Selasa, 06/02/2024 21:20 WIB
Sejarah Lahirnya UUD 1945 Menjadi Konstitusi Negara Indonesia Proses pembentukan UUD 1945. (Foto: Tangkapan Layar)

RADARBANGSA.COM - Sebagai konstitusi negara Republik Indonesia, sejarah lahirnya UUD 1945 tidak lepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan Negara Republik Indonesia.

Setelah tiga setengah abad menjajah Indonesia, pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang dan mulailah pendudukan Jepang di Indonesia. Namun hanya tiga tahun berselang, kondisi Jepang terdesak oleh Sekutu.

Dalam kondisi tersebut, Jepang berusaha untuk menarik simpati bangsa Indonesia dengan menjanjikan kemerdekaan Indonesia di kemudian hari. Janji kemerdekaan itu disampaikan oleh Perdana Menteri Jepang, Koiso, pada tanggal 7 September 1944 berdasarkan keputusan Teikoku Gikai (Parlemen Jepang).

Pada tanggal 1 Maret 1945, Saikoo Sikikan, Panglima Balatentara Dai Nippon di Jawa, mengeluarkan pengumuman yang berisi rencana pembentukan sebuah badan untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan.

Rencana tersebut kemudian diwujudkan pada tanggal 29 April 1945 melalui Maklumat Gunseikan (Komandan Angkatan Darat Jepang) Nomor 23 tentang pembentukan Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai yang kemudian dikenal dengan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Secara kelembagaan, BPUPKI dipimpin oleh KRT Radjiman Wediodiningrat selaku ketua (kaico), Raden Panji Soeroso selaku ketua muda (fuku kaico) yang kemudian diganti Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo, dan Itjibangase Yosio Tekisan selaku ketua muda (fuku kaico) dari perwakilan Jepang. Adapun anggotanya terdiri atas 60 orang anggota biasa ditambah tujuh orang perwakilan Jepang dengan status anggota istimewa.

Para anggota BPUPKI dilantik pada 28 Mei 1945 oleh Letjen Yuichiro Nagano. Sehari setelah itu, BPUPKI langsung menggelar sidang yang membahas mengenai rancangan UUD.

BPUPKI mengadakan dua kali sidang. Sidang pertama diadakan pada 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945 di gedung Cuo Sangi In, Jalan Pejambon 6 Jakarta (sekarang gedung Pancasila). Sidang ini dikenal dengan rapat mencari Dasar Negara Indonesia.

Setelah masa sidang pertama, diadakan masa reses selama lebih dari satu bulan. Selama masa reses, panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang (Panitia Sembilan) dan diketuai oleh Soekarno ini merumuskan naskah Pembukaan atau Preambule UUD yang juga dikenal Mukaddimah dengan istilah Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Bertempat di gedung Kantor Besar Jawa Hokokai, Lapangan Banteng, pertemuan tersebut dihadiri 38 peserta rapat.

Dalam rapat tersebut, panitia kecil menampung sebanyak 40 usulan dari anggota BPUPKI selama masa reses yang dapat dikelompokkan menjadi 32 hal. Usulan terbanyak, yakni dari 26 orang mengusulkan agar Indonesia merdeka segera dilaksanakan.

Sidang kedua BPUPKI dilaksanakan pada tanggal 10-17 Juli 1945. Pada sidang kedua itu, dibentuk Panitia Hukum Dasar yang bertugas membuat rancangan undang-undang dasar. Panitia tersebut beranggotakan 19 orang yang diketuai oleh Soekarno.

Panitia ini kemudian membentuk panitia kecil yang bertugas membuat  rumusan rancangan undang-undang dasar dengan memperhatikan hasil-hasil pembahasan dalam sidang-sidang BPUPKI serta rapat-rapat Panitia Hukum Dasar.

Panitia kecil terdiri atas tujuh orang, yakni Prof. DR Supomo sebagai  ketua dengan anggota Mr. Wongsonegoro, R. Sukardjo, Mr. A. Maramis, Mr. R. Pandji Singgih, H. Agus Salim, dan Dr. Sukiman.

Panitia kecil ini menyelesaikan pekerjaannya dan memberikan laporan tentang rancangan undang-undang dasar kepada Panitia Hukum Dasar pada 13 Juli 1945. Pasal-pasal dari undang-undang dasar sendiri berjumlah 42. Dari 42 ini ada lima yang masuk peraturan peralihan berhubung dengan keadaan perang dan satu pasal mengenai aturan tambahan. Setelah melalui beberapa kali sidang, pada 17 Juli 1945, BPUPKI menerima dan menyetujui rumusan tersebut menjadi rancangan undang-undang dasar.

Setelah BPUPKI menyelesaikan tugas-tugasnya, pemerintah pendudukan Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dalam bahasa Jepang disebut Dokuritu Zyunbi Iinkai. PPKI bertugas menyiapkan segala sesuatu tentang kemerdekaan. Panitia ini  beranggotakan 21 orang yang diketuai Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua.

PPKI mulai melaksanakan tugasnya sejak 9 Agustus 1945 dan segera menyelesaikan segala permasalahan yang terkait dengan kemerdekaan, terutama persoalan undang-undang dasar yang sudah ada rancangannya. Sesuai dengan rencana, pada 24 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia dapat disahkan oleh pemerintah Jepang di Tokyo.

Namun, sebelum PPKI sempat melaksanakan sidang, terjadi insiden yang mengubah keadaan. Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, Kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom yang menyebabkan Jepang terpaksa menyerah kepada Sekutu. Akibatnya, usaha pemerintah Jepang untuk menepati janji kemerdekaan Indonesia tidak mungkin lagi dilaksanakan.

Melihat situasi seperti itu, bangsa Indonesia dan golongan pemuda tidak tinggal diam. Sebelum Jepang menyerahkan kekuasaannya kepada Sekutu, atas desakan golongan pemuda, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 dengan dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno-Hatta.

Kendati bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya, namun belum ada lembaga kekuasaan yang dapat mengatasnamakan negara saat itu. Satu-satunya lembaga kekuasaan yang ada dan diakui adalah PPKI yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang.

Untuk mengubah sifat yang melekat pada lembaga itu sebagai lembaga bentukan Jepang menjadi badan nasional Indonesia, Soekarno selaku ketua menambah enam orang lagi anggotanya sehingga anggota PPKI yang semula berjumlah 21 orang menjadi 27 orang.

Badan ini segera menjadwalkan sebuah pertemuan pada 18 Agustus 1945 dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia hasil rumusan BPUPKI dengan beberapa perubahan dan penambahan.

Naskah UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI meliputi Pembukaan dan pasal-pasal yang terdiri atas 71 butir ketentuan tanpa sebuah penjelasan. Pengesahan UUD 1945 ditetapkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada sidangnya tanggal 29 Agustus 1945.

Konstitusi tersebut terbagi atas tiga bagian. Pertama, Mukaddimah Konstitusi yang dinamai bagian Pembuka. Kedua, Batang Tubuh Konstitusi yang terbagi atas XV Bab dalam 36 Pasal. Ketiga, bagian Penutup Konstitusi yang terbagi atas Bab XVI pasal 37 tentang perubahan Undang-undang Dasar, Aturan Peralihan dalam IV pasal dalam dua ayat.

Pembukaan dan pasal-pasal itu di kemudian hari baru diberi Penjelasan oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo. Selanjutnya, UUD 1945 dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 tanggal 15 Februari 1946. Pembukaan dan pasal-pasalnya terdapat di halaman 45-48, sedangkan penjelasannya terdapat di halaman 51-56.

Sejak PPKI menetapkan UUD 1945, penyelenggara negara didasarkan pada ketentuan-ketentuan menurut UUD 1945. Namun selama masa peralihan itu, pelaksanaan sistem pemerintah negara dan kelembagaan negara yang ditentukan UUD 1945 belum dapat dilaksanakan seluruhnya.

Pada periode 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949, lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, dan DPA belum terbentuk. PPKI kemudian menetapkan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai pembantu presiden sesuai pasal 4 aturan peralihan UUD 1945.

Dalam pelaksanaannya, KNIP yang semula menjadi pembantu presiden, sejak 16 Oktober 1945, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945.

Berdasarkan usul KNIP, sejak tanggal 14 November 1945, sistem Kabinet Presidensiil diganti dengan sistem Kabinet Parlementer. Kekuasaan pemerintah tidak dipegang oleh Presiden tetapi dipegang oleh Perdana Menteri sebagai pimpinan kabinet.

Situasi tersebut membuat pelaksanaan UUD 1945 belum berjalan optimal saat itu. Di sisi lain, bangsa Indonesia juga sedang dihadapkan pada masa revolusi fisik untuk mempertahankan negara dari rongrongan penjajah yang tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia.

Dalam situasi tersebut, Indonesia sebagai bangsa yang baru merdeka dan masih belajar mempraktekkan penyelenggaraan, sempat terjadi ketidaksesuaian antara pelaksanaan sistem pemerintahan dengan sistem pemerintahan yang diatur dalam konstitusi.(Antonius Purwanto/Kompaspedia)


Berita Terkait :