Baiknya Zikir dalam Hati atau dengan Lisan?

Neli Elislah | Rabu, 03/03/2021 19:17 WIB
Baiknya Zikir dalam Hati atau dengan Lisan? Zikir (foto:nu.or.id)

RADARBANGSA.COM - Perintah untuk berzikir tertulis berulangkali dalam Alquran dan hadis, berzikir adalah salah satu ibadah yang mudah dilakukan dalam berbagai kondisi, sedang duduk, berdiri ataupun ketika sedang sakit dan berbaring. Allah SWT menejelaskan ciri seorang Mukmin yang senantiasa berzikir, dalam ayat berikut:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ 

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring” (QS. Ali Imran: 191).

Sebenarnya tidak ada ketentuan atau syarat sah berzikir, bacaannya pun bermacam-macam, zikir adalah ibadah untuk mengingatkan kita pada Allah SWT dengan menyebut nama-Nya. pengucapan tersebut bisa dilakukan di dalam hati ataupun diucapkan dengan bersuara. Namun, manakah yang lebih baik? Imam at-Thabari sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Batthal menjelaskan masalah ini sebagai berikut:

 فإن قيل: أى الذكرين أعظم ثوابًا الذكر الذى هو بالقلب، أو الذكر الذى هو باللسان؟ قيل: قد اختلف السلف فى ذلك، فروى عن عائشة أنها قالت: لأن أذكر الله فى نفسى أحب إلىَّ أن أذكره بلسانى سبعين مرة. وقال آخرون: ذكر الله باللسان أفضل. روى عن أبى عبيدة بن عبد الله بن مسعود قال: ما دام قلب الرجل يذكر الله تعالى فهو فى صلاة، وإن كان فى السوق، وإن تحرك بذلك اللسان والشفتان فهو أعظم. 

“Apabila dikatakan zikir yang manakah yang lebih besar pahalanya, apakah yang di hati saja ataukah yang dengan lisan?, dijawab: Ulama Salaf berbeda tentang hal itu. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa ia berkata: “Aku berzikir kepada Allah dalam hati lebih aku sukai daripada Aku berzikir dengan lisanku 70 kali".  Tokoh lain berkata: “zikir dengan lisan kepada Allah adalah lebih utama".  Diriwayatkan dari Abu Ubaidah bin Abdullah bin Masud ia berkata: “Selama hati seseorang berzikir kepada Allah maka ia berada dalam doa meskipun ia di pasar. Apabila lisan dan kedua bibirnya bergerak mengucapkannya, maka itu lebih besar pahalanya.” (Ibnu Batthal, Syarh Shahih al-Bukhari, X, 430)

Kemudian, Imam at-Thabari mencoba menjelaskan kembali kedua pendapat itu dengan merinci apakah ada potensi riya (keinginan untuk dipuji orang) dalam zikir tersebut dan apakah pelakunya adalah seorang panutan atau bukan, berikut ini: 

والصواب عندى أن إخفاء النوافل أفضل من ظهورها لمن لم يكن إمامًا يقتدى به، وإن كان فى محفل اجتمع أهله لغير ذكر الله أو فى سوق وذلك أنه أسلم له من الرياء، وقد روينا من حديث سعد بن أبى وقاص عن النبى (صلى الله عليه وسلم) أنه قال: (خير الرزق ما يكفى، وخير الذكر الخفى) ولمن كان بالخلاء أن يذكر الله بقلبه ولسانه؛ لأن شغل جارحتين بما يرضى الله تعالى أفضل

"Yang benar menurutku adalah menyamarkan ibadah sunah adalah lebih utama daripada menampakannya bagi selain imam yang diikuti oleh orang lain apabila ia berada dalam kerumunan orang yang tidak berzikir kepada Allah atau berada di pasar, karena zikir samar itu lebih aman baginya dari riya. ... Dan bagi orang yang sendirian hendaknya berzikir kepada Allah dengan hati dan lisannya karena sibuknya anggota badan dengan sesuatu yang di ridai Allah adalah lebih utama." (Ibnu Batthal, Syarh Sahih al-Bukhari, X, 430).

Sedangkan, menurut ulama mazhab Syafii dan juga beberapa ulama lainnya, zikir dalam hati yang sangat pelan hingga tidak terdengar, tidak dihitung sebagai berzikir sehingga tidak berpahala ketika melakukannya. Imam Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan pendapat para ulama tersebut sebagaimana berikut:

وَأَمَّا حَيْثُ لَمْ يُسْمِعْ نَفْسَهُ فَلَا يُعَدُّ بِحَرَكَةِ لِسَانِهِ وَإِنَّمَا الْعِبْرَةُ بِمَا فِي قَلْبِهِ عَلَى أَنَّ جَمَاعَةً مِنْ أَئِمَّتِنَا وَغَيْرِهِمْ يَقُولُونَ: لَا ثَوَابَ فِي ذِكْرِ الْقَلْبِ وَحْدَهُ وَلَا مَعَ اللِّسَانِ حَيْثُ لَمْ يُسْمِعْ نَفْسَهُ

“Adapun sekiranya seseorang tidak membuat dirinya sendiri mendengar (apa yang diucapkan), maka gerakan lisannya tidaklah diperhitungkan tetapi yang diperhitungkan adalah apa yang ada dalam hatinya saja, meskipun sekelompok para imam Syafi’iyah dan lainnya berkata: "tidak ada pahala dalam zikir dalam hati saja, juga dalam zikir yang bersama lisan tetapi dirinya sendiri tidak mendengarnya". (ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj, III, 182). 

Ketiadaan pahala ketika tidak besuara ketika berzikir menurut Ibnu Hajar al-Haitami bila dipandang dari aspek zikir secara khusus. Akan tetapi dari aspek menyibukkan hati dengan mengingat Allah SWT, maka tetaplah berpahala, bahkan sangat baik, dijelaskan berikut ini:

وَيَنْبَغِي حَمْلُهُ عَلَى أَنَّهُ لَا ثَوَابَ عَلَيْهِ مِنْ حَيْثُ الذِّكْرِ الْمَخْصُوصِ، أَمَّا اشْتِغَالُ الْقَلْبِ بِذَلِكَ وَتَأَمَّلْهُ لِمَعَانِيهِ وَاسْتِغْرَاقِهِ فِي شُهُودِهِ فَلَا شَكَّ أَنَّهُ بِمُقْتَضَى الْأَدِلَّةِ يُثَابُ عَلَيْهِ مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ الثَّوَابَ الْجَزِيلَ، وَيُؤَيِّدُهُ خَبَرُ الْبَيْهَقِيّ «الذِّكْرُ الَّذِي لَا تَسْمَعُهُ الْحَفَظَةُ يَزِيدُ عَلَى الذِّكْرِ الَّذِي تَسْمَعُهُ الْحَفَظَةُ سَبْعِينَ ضِعْفًا» اهـ بِحُرُوفِهِ

“(Ketiadaan pahala zikir dalam hati atau zikir sangat pelan higga tak terdengar itu) sebaiknya diletakkan dalam konteks zikir secara khusus. Adapun menyibukkan hati dengannya dan menghayati maknanya dan menghabiskan waktu merenungkannya maka tak diragukan bahwasanya sesuai tuntutan berbagai dalil yang ada ia mendapat pahala besar dari aspek ini. Hal ini diperkuat dengan hadis dari al-Baihaqi: “zikir yang tak didengar para malaikat pencatat lebih bertambah pahalanya 70 kali daripada zikir yang didengar oleh para malaikat.” (ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj, III, 182). 

Seperti, anjuran Nabi Muhammad SAW untuk membaca tasbih, tahmid dan takbir sebanyak 33 kali sehabis salat wajib, maka anjuran ini hanya akan dianggap terlaksana dan mendapat pahalanya bila dibaca dengan lisan, tak cukup dibesitkan dalam hati saja. Inilah yang dimaksud pahala zikir secara khusus. Namun bagi yang membacanya dalam hati bukan berarti tak mendapat pahala sama sekali tetapi akan mendapat pahala dari aspek merenung dan mengingat Allah SWT, dan ini juga akan mendapat pahalanya.

Kesimpulannya, zikir yang diperintahkan secara khusus haruslah diucapkan dengan lisan agar mendapat pahala dari perintah khusus tersebut. Namun, bila tidak diucapkan, masih ada pahala karena zikir seperti mengingat Allah SWT dalam hatinya. Adapun zikir yang umum tanpa ada perintah khusus sehingga bisa dibaca kapan saja di mana saja, maka perlu dilihat potensi riya di dalamnya. Bila ada potensi riya ketika membacanya, maka lebih utama dilakukan dalam hati. Akan tetapi bila aman dari potensi riya, misalnya ketika sendirian atau dilakukan oleh seorang panutan agar tindakannya ditiru orang lain, maka lebih utama dilakukan dengan hati.

 


Berita Terkait :