MUI Harus Jadi Tempat Menyatukan dan Titik Temu Perbedaan

Rahmad Novandri | Sabtu, 08/08/2020 22:01 WIB
MUI Harus Jadi Tempat Menyatukan dan Titik Temu Perbedaan KH Miftahul Achyar (Rais Aam PBNU). (Foto: timesindonesiacoid)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar berharap, Majelis Ulama Indonesia (MUI) semakin memberikan manfaat bagi umat dan bangsa. Ibarat rumah yang memiliki banyak kamar, MUI harus mampu menjalankan perannya sebagai melting pot (tempat menyatukan), titik temu, dan menghubungkan banyak kamar tersebut dengan dinding ukhuwah Islamiyah.

Sebagai tenda besar umat Islam, MUI juga harus mampu menjembatani perbedaan-perbedaan antara ormas Islam. Ibarat benang warna-warni, perbedaan yang ada harus dirajut sehingga mampu menjadi pakaian yang indah dan nyaman dipakai.

Menurut Kiai Miftah, ada tiga kondisi perbedaan di dalam umat Islam yang harus dipahami sehingga tetap bersatu di bawah ukhuwah Islamiyah. Pertama, perbedaan yang masih mungkin untuk disatukan karena perbedaan tafsir terhadap suatu masalah. Pada kondisi seperti ini, upaya menyatukan menjadi suatu hal yang amat mulia sesuai dengan kaedah ‘al-khuruj minal khilaf mustahabb’.

Kedua, perbedaan yang tidak mungkin disatukan karena berdasar pada ijtihad dengan argumen shahih pada wilayah majalul ikhtilaf. Dalam kondisi ini, perlu dibangun komitmen saling pengertian atau saling memahami untuk mewujudkan harmoni di tengah perbedaan.

Sementara yang ketiga adalah perbedaan yang harus diluruskan karena sudah menyimpang. “Ketiga, perbedaan terhadap masalah keagamaan yang masuk kategori ma’lum minaddin bi al-dlarurah. Seperti tentang otentisitas Al-Qur’an, soal kewajiban shalat. Maka pada hakekatnya, ini bukan wilayah perbedaan yang bisa dimaklumi,” katanya saat berbicara pada Milad ke-45 MUI yang dilakukan secara virtual, Jumat, 7 Agustus 2020 malam.

Pengasuh Pesantren Miftachussunnah ini menambahkan, perbedaan pendapat yang ditoleransi dalam Islam adalah perbedaan pendapat yang dengan dlawabith dan hudud. Bukan waton suloyo atau asal beda tanpa kaedah yang dibenarkan.

Kiai Miftah juga berharap MUI harus mampu memantapkan diri sebagai penjaga akhlak umat dan bangsa, menjadi teladan untuk kemaslahatan bangsa. Menurut dia, akhlak ulama akan menjadi faktor munculnya keberkahan bagi umat dan bangsa, terutama saat berada dalam krisis.

“Hal ini bisa diwujudkan dengan terus menerus mendakwahkan nilai-nilai Islam yang menyejukkan dan menyatukan. Bukan sebaliknya membelah dan menegasikan perbedaan,” terangnya.

Kiai Miftah menambahkan, ulama juga harus mengedepankan prinsip tasamuh (toleransi) dalam hubungan insaniyah, tafahum (saling pengertian) dan mengedepankan maslahah `ammah (kepentingan umum) atas dasar persaudaraan. Ulama harus menjauhi sikap dan perilaku ananiyyah (egoisme) dan ‘ashabiyyah hizbiyyah (fanatisme kelompok), yang bisa mengakibatkan ‘adawah (saling permusuhan), tanazu’ (pertentangan), dan syiqaq (perpecahan).

“Saya berharap, keberadaan dan keberperanan MUI sebagai tenda besar umat Islam semakin bermanfaat bagi umat dan bangsa. Menjadi penyejuk saat udara panas, menjadi api penghangat saat cuaca dingin, menjadi pelita saat gelap, menjadi teman sejati yang selalu hadir saat suka dan duka, menjadi pemersatu di tengah perbedaan,” harapnya.


Berita Terkait :