Angka Kemiskinan di Bulan Maret Turun Jadi 9,54%

Anata Lu’luul Jannah | Selasa, 19/07/2022 12:01 WIB
Angka Kemiskinan di Bulan Maret Turun Jadi 9,54% Perumahan Kumuh di Ibukota. (Foto: marketeerscom)

RADARBANGSA.COM - Kementerian Keuangan mencatat tingkat kemiskinan Indonesia per Maret 2022 yang kembali menurun menjadi 9,54 persen dari semula 9,71 persen di bulan September 2021 (Maret 2021: 10,14 persen).

“Tingkat kemiskinan terus dalam tren menurun di tengah tekanan harga komoditas global, khususnya harga pangan dan energi yang berdampak pada harga-harga domestik dan daya beli masyarakat. Ini merupakan hal yang positif,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam keterangan resminya, Selasa 19 Juli 2022.

Dia juga mengatakan bahwa angka kemiskinan menurun meskipun ambang batas garis kemiskinan Indonesia meningkat seiring meningkatnya berbagai risiko perekonomian.

Adapun ambang batas garis kemiskinan pada Maret 2022 meningkat sebesar 4,0 persen menjadi Rp505.469 dari sebelumnya Rp486.168 pada September 2021.

Meskipun garis kemiskinan mengalami peningkatan, kata Febrio, angka kemiskinan Indonesia tetap dapat diturunkan.

Studi Bank Dunia (Juni 2022) menyebutkan bahwa kenaikan harga komoditas di dalam negeri, yang dipicu oleh pergerakan harga komoditas global, diperkirakan akan menaikkan angka kemiskinan sebesar 0,2 poin persentase.

Namun demikian perbaikan tingkat kemiskinan pada Maret 2022 terjadi secara merata baik di seluruh pulau di Indonesia maupun di tingkat perdesaan dan perkotaan.

Secara spasial, tingkat kemiskinan di perkotaan menurun menjadi sebesar 7,50 persen. Sementara itu, angka penduduk miskin di perdesaan mengalami penurunan menjadi 12,29 persen.

Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur dengan Rasio Gini sedikit meningkat, dari semula 0,381 pada posisi September 2021 menjadi sebesar 0,384 pada Maret 2022.

Febrio menjelaskan penguatan pemulihan ekonomi yang terus berlanjut mendorong perbaikan tingkat kemiskinan.

Febrio menyampaikan kebijakan lain yang cukup krusial dalam menjaga daya beli masyarakat adalah kebijakan untuk tetap mempertahankan harga jual energi domestik meskipun dengan konsekuensi naiknya belanja subsidi energi dan kompensasi.

“APBN telah mengambil peran penting sebagai shock absorber dengan meredam kenaikan tekanan harga komoditas global,” tandas dia.