CIPS: Pemberlakuan PPN Sembako Ancam Ketahanan Pangan Indonesia

Anata Lu’luul Jannah | Kamis, 10/06/2021 12:05 WIB
CIPS: Pemberlakuan PPN Sembako Ancam Ketahanan Pangan Indonesia Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi saat mengunjungi pasar di Sumatera Utara (Foto: kemendag)

RADARBANGSA.COM - Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menilai wacana pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang barang kebutuhan pokok atau sembako, yang mana termasuk beras, berdampak buruk pada perekonomian Indonesia.

Dalam laporan terbaru yang dipublikasikan CIPS, Rabu 9 Juni 2021, dijelaskan bahwa langkah tersebut tidak saja akan meningkatkan harga pangan namun juga berimbas pada ketahanan pangan Indonesia.

"Pengenaan PPN pada sembako mengancam ketahanan pangan, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah. Lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan yang bernutrisi karena harga pangan yang mahal,” ujar Felippa Ann Amanta, dalam keterangannya.

Indonesia sendiri jika dibandingkan dengan negara lain Indeks Ketahanan pangannya berada di peringkat 65 dari 113 negara. Berdasarkan Economist Intelligence Unit`s Global Food Security Index, salah satu faktor di balik rendahnya peringkat ketahanan pangan Indonesia ini adalah masalah keterjangkauan.

Keterjangkauan pangan yang menurun dengan sendirinya akan mendorong lebih banyak lagi masyarakat berpenghasilan rendah ke bawah garis kemiskinan.

Dari informasi yang beredar di jagat maya adalah pemberlakuan PPN diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Revisi tersebut mencakup penghapusan barang kebutuhan pokok (Sembako) —  beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi —  kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.

"Menambah PPN akan menaikkan harga dan memperparah situasi, apalagi di tengah pandemi ketika pendapatan masyarakat berkurang,” imbuh Felippa.

Saat ini pangan berkontribusi besar pada pengeluaran rumah tangga, dan bagi masyarakat berpendapatan rendah, belanja kebutuhan of pangan bisa mencapai sekitar 56 persen dari pengeluaran rumah tangga mereka.

Pengenaan PPN pada sembako tentu saja akan lebih memberatkan bagi golongan tersebut, terlebih lagi karena PPN yang ditarik atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), pada akhirnya akan dibebankan pengusaha kepada konsumen.

Kenaikan harga akan mendorong inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat. Dengan daya beli yang menurun, masyarakat akan mengurangi belanja. Padahal, belanja rumah tangga, bersama konsumsi pemerintah, merupakan komponen pertumbuhan ekonomi negara yang harus didorong guna memulihkan kondisi ekonomi saat ini.


Berita Terkait :